Posted by : sahdarullah
Jumat, 11 Oktober 2013
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Disalin
ulang dari buku 'Kutitip Surat Ini Untukmu..' karya alUstadz Armen Halim Naro
-rahimahullah-.
Terbitan
Nadwah Publishing - Pekanbaru.
Kutitip
surat ini, anakku!
Ananda yang
kusayangi, di bumi Allah Ta'ala..
Segala puji Ibu
panjatkan ke hadirat Allah yang telah memudahkan Ibu untuk beribadah
kepada-Nya. Shalawat serta salam Ibu sampaikan kepada Nabi Muhammad shallallahu
'alaihi wasallam, keluarga dan para sahabatnya. Amiin..
Wahai
anakku,
Surat ini
datang dari ibumu yang selalu dirundung sengsara.. Setelah berpikir panjang Ibu
mencoba untuk menulis dan menggoreskan pena, sekalipun keraguan dan rasa malu
menyelimuti diri. Setiap kali menulis, setiap itu pula goresan tulisan
terhalangi oleh tangis, dan setiap kali menitikkan air mata setiap itu pula
hati terluka..
Wahai
anakku,
Sepanjang
masa yang telah engkau lewati, kulihat engkau telah menjadi laki-laki dewasa,
laki-laki yang cerdas dan bijak! Karenanya engkau pantas membaca tulisan ini,
sekalipun nantinya engkau remas kertas ini lalu engkau merobeknya, sebagaimana
sebelumnya engkau telah remas hatiku dan telah engkau robek pula perasaanku.
Wahai
anakku,
25 tahun
telah berlalu, dan tahun-tahun itu merupakan tahun kebahagiaan dalam
kehidupanku. Suatu ketika dokter datang menyampaikan tentang kehamilanku dan
semua ibu sangat mengetahui arti kalimat tersebut. Bercampur rasa gembira dan
bahagia dalam diri ini sebagaimana ia adalah awal mula dari perubahan fisik dan
emosi. Semenjak kabar gembira tersebut aku membawamu 9 bulan, tidur, berdiri,
makan dan bernafas dalam kesulitan. Akan tetapi itu semua tidak mengurangi
cinta dan kasih sayangku kepadamu, bahkan ia tumbuh bersama berjalannya waktu.
Aku
mengandungmu, wahai anakku! Pada kondisi lemah di atas lemah, bersamaan dengan
itu aku begitu gembira tatkala merasakan tendangan kakimu atau geliat badanmu
dalam perutku. Aku merasa puas setiap aku menimbang diriku, karena semakin hari
semakin bertambah berat perutku, berarti semakin sengkau sehat wal afiat dalam
rahimku.
Penderitaan yang
berkepanjangan menderaku, sampailah saat itu, ketika fajar pada malam itu, yang
aku tidak dapat tidur dan memejamkan mataku barang sekejap pun. Aku merasakan
sakit yang tidak tertahankan dan rasa takut yang tidak bisa dilukiskan.
Sakit itu
terus berlanjut sehingga membuatku tidak lagi dapat menangis. Sebanyak itu pula
aku melihat kematian menari-nari dipelupuk mataku, hingga tibalah waktunya
engkau keluar kedunia.
Engkaupun
lahir.. Tangisku bercampur dengan tangismu, air mata kebahagiaan senantiasa menetes
dalam keharuan dan kebahagiaan. Dengan itu semua, sirna semua keletihan dan
kesedihan, hilang semua sakit dan penderitaan, bahkan kasihku kepadamu semakin
bertambah dengan bertambah kuatnya rasa sakit. Aku raih dirimu sebelum aku
meraih minuman, aku peluk cium dirimu sebelum meneguk satu tetes air yang ada
di kerongkonganku.
Wahai
anakku.. Telah berlalu tahun dari usiamu. Aku membawamu dengan hatiku dan
memandikanmu dengan kedua tangan kasih sayangku. Saripati hidupku kuberikan
kepadamu. Aku tidak tidur demi tidurmu, berletih demi kebahagiaanmu.
Harapanku
pada setiap harinya; agar aku melihat senyumanmu. Kebahagiaanku setiap saat
adalah celotehmu dalam meminta sesuatu, agar aku berbuat sesuatu untukmu..
itulah kebahagianku!
Kemudian,
berlalulah waktu, hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tahun berganti
tahun. Selama itu pula aku setia menjadi pelayanmu yang tidak pernah lalai,
menjadi dayangmu yang tidak pernah berhenti, dan menjadi pekerjamu yang tidak
pernah mengenal lelah serta mendoakan selalu kebaikan dan taufiq untukmu. Aku
selalu memperhatikan dirimu hari demi hari hingga engkau menjadi dewasa.
Badanmu yang tegap, ototmu yang kekar, kumismu dan jambang tipis telah
menghiasi wajahmu, telah menambah ketampananmu. Tatkala itu aku mulai melirik
ke kiri dan ke kanan demi mencari pasangan hidupmu.
Semakin
dekat hari perkawinanmu, semakin dekat pula hari kepergianmu. Saat itu pula
hatiku mulai serasa teriris-iris, air mataku mengalir, entah apa rasanya hati
ini. Bahagia telah bercampur dengan duka, tangis telah bercampur pula dengan
tawa. Bahagia karena engkau mendapatkan pasangan dan sedih karena engkau
pelipur hatiku akan berpisah denganku.
Waktu pun
berlalu seakan-akan aku menyeretnya dengan berat. Kiranya setelah perkawinan
itu aku tidak lagi mengenal dirimu, senyummu yang selama ini menjadi pelipur
duka dalam kesedihan, sekarang telah sirna bagaikan matahari yang ditutupi oleh
kegelapan malam. Tawamu yang selama ini kujadikan buluh perindu, sekarang telah
tenggelam seperti batu yang dijatuhkan ke dalam kolam yang hening dan dalam,
bersama dedaunan yang berguguran. Aku benar-benar tidak mengenalmu lagi karena
engkau telah melupakanku dan melupakan hakku.
Terasa lama
hari-hari yang kulewati hanya untuk ingin melihat rupamu. Detik demi detik
kuhitung demi mendengarkan suaramu. Akan tetapi penantian kurasakan sangat
panjang. Aku selalu berdiri di pintu hanya untuk melihat dan menanti
kedatanganmu. Setiap kali berderit pintu aku menyangka bahwa engkaulah orang
yang datang itu. Setiap kali telepon berdering aku merasa bahwa engkaulah yang
menelepon. Setiap suara kendaraan lewat aku merasa bahwa engkaulah yang datang.
Akan tetapi,
semua itu tidak ada. Penantianku sia-sia, dan harapanku hancur berkeping, yang
ada hanya keputusasaan, yang tersisa hanyalah kesedihan dari semua keletihan
yang selama ini kurasakan. Sambil menangisi diri dan nasib yang memang telah
ditakdirkan oleh-Nya.
Anakku..
Ibumu ini tidaklah meminta banyak, dan tidaklah menagih kepadamu yang
bukan-bukan. Yang ibu pinta, jadikan ibumu sebagai sahabat dalam kehidupanmu.
Jadikanlah ibumu yang malang ini sebagai pembantu di rumahmu, agar senantiasa
dapat menatap wajahmu, agar ibu teringat pula dengan hari-hari bahagia masa
kecilmu.
Yang ibu
tagih kepadamu, jadikanlah rumah ibumu, salah satu tempat persinggahanmu, agar
engkau dapat pula sekali-kali singgah ke sana sekalipun hanya satu detik,
jangan jadikan ia sebagai tempat sampah yang tidak pernah engkau kunjungi, atau
sekiranya terpaksa engkau datangi sambil engkau tutup hidungmu dan engkau pun
berlalu pergi.
Anakku,
telah bungkuk pula punggungku. Bergemetar tanganku, karena badanku telah
dimakan oleh usia dan digerogoti oleh penyakit.. Berdiri seharusnya dipapah,
duduk pun seharusnya dibopong, sekalipun begitu cintaku kepadamu masih seperti
dulu.. Masih seperti lautan yang tidak pernah kering. Masih seperti angin yang
tidak pernah berhenti.
Sekiranya
engkau dimuliakan satu hari saja oleh seseorang, niscaya engkau akan balas
kebaikannya dengan kebaikan setimpal. Sedangkan kepada ibumu.. Mana balas
budimu nak? Mana balasan baikmu?! Bukankah air susu seharusnya dibalas dengan
air susu serupa?! Akan tetapi kenapa nak? Susu yang ibu berikan engkau balas
dengan tuba?! Bukankah Alla Ta'ala berfirman;
"Bukankah
balasan kebaikan kecuali dengan kebaikan pula?" [QS. arRahman:60]
Sampai
begitu keraskah hatimu, dan sudah begitu jauhkah dirimu setelah berlalunya hari
dan berselangnya waktu?!
Wahai
anakku, setiap kali aku mendengar bahwa engkau bahagia dengan hidupmu, setiap
itu pula bertambah kebahagiaanku. Bagaimana tidak, engkau adalah buah dari
kedua tanganku, engkaulah hasil keletihanku, engkaulah laba dari semua usahaku!
Kiranya dosa apa yang telah kuperbuat sehingga engkau jadikan diriku musuh
bebuyutanmu? Pernahkah aku berbuat khilaf dalam salah satu waktu selama bergaul
denganmu, atau pernahkan aku berbuat lalai dalam melayanimu?
Lalu, jika
tidak demikian, sulitkah bagimu menjadikan statusku sebagai budak dan pembantu
yang paling hina dari sekian banyak pembantu dan budakmu. Mereka semua telah
mendapatkan upahnya, lalu mana upah yang layak untukku, wahai anakku?
Dapatkah
engkau berikan sedikit perlindungan kepadaku di bawah naungan kebesaranmu?
Dapatkah engkau menganugerahkan sedikit kasih sayangmu demi mengobati derita
orang tua yang malang ini? Sedangkan Allah Ta'ala mencintai orang yang berbuat
baik.
Wahai
anakku! Aku hanya ingin melihat wajahmu, dan aku tidak ingin menginginkan yang
lain.
Wahai
anakku! Hatiku teriris, air mataku mengalir, sedangkan engkau sehat wal afiat.
Orang sering mengatakan bahwa engkau seorang laki-laki yang supel, dermawan dan
berbudi. Anakku.. tidak tersentuhkah hatimu terhadap seorang wanita tua yang
lemah, tidak terenyuhkah jiwamu melihat orang tua yang telah renta ini, ia
binasa dimakan rindu, berselimutkan kesedihan dan berpakaian kedukaan?! Bukan
karena apa-apa! Akan tetapi hanya karena engkau telah berhasil mengeluarkan air
matanya.. Hanya karena engkau telah membalasnya dengan dengan luka di hatinya..
Hanya karena engkau telah pandai menikam dirinya dengan belati durhakamu tepat
menghujam jantungya.. Hanya karena engkau telah berhasil pula memutuskan tali
silaturrahum?!
Wahai
anakku, Ibumu inilah sebenarnya pintu surga bagimu. Maka titilah jembatan itu
menujunya, lewatilah jalannya dengan senyuman yang manis, pemaafan dan balas
budi yang baik. Semoga aku bertemu denganmu di sana dengan kasih sayang Allah
Ta'ala, sebagaimana Rasulullah telah sabdakan:
"Orang
tua adalah pintu Surga yang di tengah, sekiranya engkau mau, sia-siakanlah
pintu itu atau jagalah!" [HR. Ahmad]
Anakku, aku
sangat mengenalmu, tahu sifat dan akhlakmu. Semenjak engkau beranjak dewasa
saat itu pula tamak dan labamu kepada pahala dan Surga begitu tinggi. Engkau
selalu bercerita tentang keutamaan berjamaah dan shaf pertama. Engkau selalu
berniat untuk berinfak dan bersedekah.
Akan tetapi,
anakku! Mungkin ada satu hadits yang terlupakan olehmu! Satu keutamaan besar
yang terlalaikan olehmu, yaitu bahwa Nabi yang mulia shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda:
"Dari
Ibnu Mas'ud radhiyallahu'anhu berkata: 'Aku bertanya kepada Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam, 'Wahai Rasulullah, amal apa yang paling mulia?'
Beliau berkata: 'Shalat pada waktunya', aku berkata: 'Kemudian apa, wahai
Rasulullah?' Beliau berkata: 'Berbakti kepada orang tua', aku berkata: 'Kemudian
apa, wahai Rasulullah!', Beliau menjawab, 'Jihad di jalan Allah', lalu beliau
diam. Sekiranya aku bertanya lagi, niscaya beliau akan menjawabnya," [HR.
Bukhari, Muslim dan Ahmad]
Wahai
anakku! Ini aku, pahalamu, tanpa engkau perlu bersusah payah untuk memerdekakan
budak atau untuk berletih dalam berinfak.
Pernahkah
engkau mendengar cerita seorang ayah yang telah meninggalkan keluarga dan
anak-anaknya dan berangkat jauh dari negerinya untuk mencari tambang emas?!
Setelah tiga puluh tahun dalam perantauan, kiranya yang ia bawa pulang hanya
tangan hampa dan kegagalan. Dia telah gagal dalam usahanya. Setibanya di rumah,
orang tersebut tidak lagi melihat gubuk reotnya, tetapi yang dilihatnya sebuah
perusahaan tambang emas yang besar. Berletih mencari emas di negeri orang
kiranya, di sebelah gubuk reotnya orang mendirikan tambang emas.
Begitulah
perumpamaanmu dengan kebaikan. Engkau berletih mencari pahala, engkau telah
beramal banyak, tapi engkau telah lupa bahwa di dekatmu ada pahala yang maha
besar. Di sampingmu ada orang yang dapat menghalangi atau mempercepat amalmu.
Bukankah ridhoku adalah keridhoan Allah, dan murkaku adalah kemurkaanNya jua?
Anakku, yang
aku cemaskan terhadapmu, yang aku takutkan bahwa jangan-jangan engkaulah yang
dimaksudkan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam sabdanya:
"Merugilah
seseorang, merugilah seseorang, merugilah seseorang, dikatakan (kepada
Rasulullah): 'Siapa dia wahai Rasulullah?', beliau menjawab: 'Orang yang
mendapatkan kedua ayah ibunya ketika tua, dan tidak memasukkannnya ke
Surga," [HR. Muslim]
Anakku.. Aku
tidak angkat keluhan ini ke langit dan aku tidak adukan duka ini kepada Allah,
karena sekiranya keluhan ini telah membumbung menembus awan, melewati
pintu-pintu langit, maka akan menimpamu kebinasaan dan kesengsaraan yang tidak
ada obatnya dan tidak ada tabib yang dapat menyembuhkannya. Aku tidak akan
melakukannya, nak! Bagaimana aku akan melakukannya sedangkan engkau adalah
jantung hatiku.. Bagaimana ibumu ini kuat menengadahkan tangannya ke langit
sedangkau engkau adalah pelipur laraku. Bagaimana ibu tega melihatmu merana
terkena doa mustajab, padahal engkau bagiku adalah kebahagiaan hidupkku?
Bangunlah,
nak! Uban sudah mulai merambat di kepalamu, akan berlalu masa sehingga engkau
akan menjadi tua, dan al-jaza' min jinsil 'amal.. Engkau akan memetik sesuai
dengan apa yang engkau tanam.. Aku tidak ingin engkau nantinya menulis surat
yang sama kepada anak-anakmu, engkau tulis dengan air matamu sebagaimana aku
menulismu dengan air mata itu pula kepadamu.
Wahai
anakku, bertakwalah kepada Allah pada ibumu, peganglah kakinya! Sesungguhnya
Surga di kakinya. Basuhlah air matanya, balurlah kesedihannya, kencangkan
tulang ringkihnya, dan kokohkan badannya yang telah lapuk.
Anakku..
Setelah engkau membaca surat ini, terserah kepadamu! Apakah engkau sadar dan
akan kembali atau engkau ingin merobeknya.
Wassalam,
Ibumu.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar