• Posted by : sahdarullah Minggu, 26 Oktober 2014

    Nabi Ibrahim ‘alaihis salam mengatakan,

    وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ

    “Jika aku sakit maka Dialah yang menyembuhkanku” (Asy Syuara:80).
    Dalam ayat ini Nabi Ibrahim memuji Allah, tuhannya, dengan mengatakan bahwa jika dia tertimpa musibah maka Allah yang menyembuhkannya.
    Ayat ini menunjukkan bahwa diantara bentuk musibah adalah penyakit. Penyakit sebagaimana musibah selainnya jika terjadi pada seorang muslim maka itu akan menjadi sebab Allah menghapus dosa dosanya. Dari Abu Said dan Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    مَا يُصِيبُ الْمُؤْمِنَ مِنْ وَصَبٍ وَلاَ نَصَبٍ وَلاَ سَقَمٍ وَلاَ حَزَنٍ حَتَّى الْهَمِّ يُهَمُّهُ إِلاَّ كُفِّرَ بِهِ مِنْ سَيِّئَاتِهِ

    “Tidaklah seorang mukmin tertimpa rasa sakit, lelah, penyakit, sedih karena teringat hal yang telah terjadi, tidak pula kegalauan karena memikirkan hal yang belum terjadi kecuali itu semua menjadi sebab Allah menghapus kesalahan kesalahannya” (HR Muslim).

    Musibah berupa sakit adalah diantara takdir yang Allah tetapkan atas seorang hamba. Musibah ini akan terasa lebih ringan manakala kita menyadari bahwa ini adalah bagian dari takdir yang pasti terjadi dan tidak akan terhindar dari diri kita.
    Ketika menjelaskan manfaat mengimani takdir, Allah Ta’ala berfirman,

    لِكَيْ ا ل تَأْسَوْا عَ ى ل مَا فَاتَكُمْ وَ لا لا تَفْرَحُوا م بَا آتَاكُمْ وَاللَّهُ )ََ لا لا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ )

    “ Supaya kalian tidak terlalu berlalu bersedih akan kenikmatan yang hilang dari diri kalian dan kalian tidak sombong dengan nikmat yang kalian dapatkan. Allah itu tidak menyukai seorang orang yang sombong dengan perkataan maupun perbuatannya” (Al-Hadid: 23).


    Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    وَلَوْ أَنْفَقْتَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا ى ف سَبِيلِ اللَّهِ مَا قَبِلَهُ اللَّهُ مِنْكَ حَتَّى تُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ وَتَعْلَمَ أَنَّ مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ
    لِيُخْطِئَكَ وَأَنَّ مَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَكَ وَلَوْ مُتَّ عَ ى ل غَ ر يِ هَذَا لَدَخَلْتَ النَّارَ.ْ

    “Andai engkau berinfaq emas seberat gunung Uhud di jalan Allah, Allah tidak akan menerimanya sampai Engkau beriman dengan takdir dan sampai Engkau menyadari bahwa semua yang ditakdirkan akan menimpamu itu tidak mungkin meleset dari dirimu dan semua hal yang ditakdirkan tidak akan menimpamu itu pasti tidak akan menimpamu. Andai Engkau meninggal tanpa memiliki keyakinan di atas maka engkau pasti akan masuk neraka” (H.R Abu Daud).

    Dalam hadits yang lain dijelaskan,

    قَالَ عُبَادَةُ بْنُ الصَّامِتِ لاِبْنِهِ يَا بُنَىَّ إِنَّكَ لَنْ تَجِدَ
    طَعْمَ حَقِيقَةِ الإِيمَانِ حَتَّى تَعْلَمَ أَنَّ مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ
    لِيُخْطِئَكَ وَمَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَكَ

    Ubadah bin Shamit berpesan kepada anaknya, “Wahai anakku, Engkau tidak akan merasakan hakekat keimanan kecuali jika engkau menyadari bahwa semua yang ditakdirkan akan menimpamu itu tidak mungkin meleset dari dirimu dan semua hal yang ditakdirkan tidak akan menimpamu itu pasti tidak akan menimpamu. Andai Engkau meninggal tanpa memiliki keyakinan di atas maka engkau pasti akan masuk neraka” (HR Abu Daud).

    Ayat di atas juga mengajari kita etika berbicara yang ada kaitannya dengan Allah yaitu mengaitkan nikmat dengan Allah dan tidak mengaitkan keburukan kepada Allah. Oleh karena itu Ibrahim mengatakan ‘jika aku sakit’ dan tidak mengatakan ‘jika Allah membuatku sakit’. Namun untuk kesembuhan Ibrahim mengatakan ‘Allah yang menyembuhkanku’ dan tidak mengatakan ‘aku sembuh’. Meski pada hakekatnya semua yang terjadi pada diri kita baik sakit, sembuh, sehat atau selainnya itu dari Allah. Namun dalam rangka beretika kepada Allah maka kita diajari untuk membedakan jika nikmat dan yang segala sesuatu yang baik maka kita katakan itu semata anugerah dari Allah. Akan tetapi untuk yang segala sesuatau yang buruk tidak kita kaitkan dengan Allah. Hal yang serupa kita jumpai pada kalimat doa yang terdapat di akhir surat Al-Fatihah. Jalan yang benar disebut dengan ‘jalan orang orang yang Engkau beri nikmat’. Sedangkan jalan yang menyimpang disebut ‘jalan orang orang yang dimurkai, tidak pula jalan orang orang yang sesat’.

    Ayat di atas juga mengajari kita untuk menyakini bahwa kesembuhan itu milik dan berasal dari Allah dan salah satu satu sifat Allah adalah menyembuhkan orang yang sakit. Hal yang sama Nabi sampaikan dalam doa yang dituntunkan untuk dibacakan kepada orang yang sakit.

    عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -ص ى الله عليه ل
    « وسلم- إِذَا اشْتَ ى ك مِنَّا إِنْسَانٌ مَسَحَهُ بِيَمِينِهِ ثُمَّ قَالَ
    أَذْهِبِ الْبَاسَ رَبَّ النَّاسِ وَاشْفِ أَنْتَ الشَّا ى ف لاَ شِفَاءَ إِلاَّ

    Jika kita menyadari bahwa kesembuhan dari penyakit itu hanya berasal dari Allah maka konsekuensinya kita hanya melakukan ikhtiar kesembuhan yang diizinkan oleh Allah dan kita tinggalkan sejauh-jauhnya cara cara pengobatan yang dilarang oleh syariat..

    ً» شِفَاؤُكَ شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَقَ ا م

    Dari Aisyah, jika ada yang sakit maka Nabi akan mengusap bagian yang sakit dengan tangan kanannya sambil berdoa, “Wahai tuhan manusia hilangkanlah penyakit. Berilah kesembuhan karena hanya Engkaulah yang bisa menyembuhkan. Tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan yang berasal dari-Mu. Berilah kesembuhan yang tidak menyisakan penyakit sedikitpun” (HR Bukhari dan Muslim).

    Jika kita menyadari bahwa kesembuhan dari penyakit itu hanya berasal dari Allah maka konsekuensinya kita hanya melakukan ikhtiar kesembuhan yang diizinkan oleh Allah dan kita tinggalkan sejauh-jauhnya cara cara pengobatan yang dilarang oleh syariat.

    0 komentar

  • Copyright © 2013 - Unbreakable Machine Doll - Ilmu Bermanfaat - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan