• Posted by : sahdarullah Kamis, 13 November 2014

    Penulis: Ustadz Abu Umar Basyir

    Seorang wanita remaja berjilbab terlihat begitu tergopoh-gopoh, berlari, lalu berdiri di depan sebuah mobil yang dikendarai seorang pria. Ia nekat mencegat mobil itu ditengah jalan. Kendaraan dipacu seperti biasa. Ada ketidakpedulian di wajah pemuda yang duduk di belakang stirnya. Namun secara tiba-tiba ia harus menghentikan mobilnya, karena siapa yang sudi masuk penjara gara-gara menabrak anak gadis orang. Apalagi sampai mati.

    “Sialan. Kenapa kamu disitu, mau cari mati?” maki si pemuda.
    “Aku tak mau pergi, sebelum kamu mengikuti kemauan ibumu,” ujar si remaja tegas.
    “Kemauan yang mana?” si pemuda bertanya heran.
    “Ibumu ingin supaya engkau menikah denganku. Aku tahu aku tidak layak untukmu. Tapi, budi ibumu, budi ibumu itu kepadaku sudah terlalu banyak. Aku hanya bisa membalasnya dengan cara ini…..,” kalimat itu begitu deras meluncur dari mulut si remaji berjilbab, ditujukan kepada pria di depannya. Seorang pemuda tampan, bukan suaminya, dan tentu juga bukan mahram-nya. Pemuda yang selama ini diam-diam selama ini begitu dicintainya….

    Itu cuma cuplikan dari sebuah adegan sinetron, yang menggambarkan kisah kasih muda-mudi di era modern. Itu cerita cinta yang sudah pasaran, bisa jadi tak punya daya tarik sama sekali. Tapi yang ternyata harus dicermati justru kehadiran si gadis berjilbab, dalam adegan tersebut. Dengan jilbabnya, dengan kealimannya, si gadis ternyata tak berbeda jauh dengan gadis-gadis remaja pada umumnya, terjebak dalam kisah cinta bernuansa syahwat, jauh dari nilai-nilai Islam yang seharusnya ia terapkan dalam kehidupannya.

    Ah, cinta itu kan soal biasa. Kita tak usah hipokrit dengan menolak cinta. Gadis remaja atau pemuda yang jatuh cinta, itu soal biasa. Kenapa dipersoalkan?”

    Ungkapan ini mungkin mewakili banyak remaja muslim kita di tanah air. Ungkapan, selalu hadir bersama tumpukan idealisme yang tak mungkin terbentuk begitu saja. Ada pendidikan, pengajaran, pengaruh lingkungan, dan lebih sering sikap mempertahankan diri dalam kondisi apapun, yang membentuk pola pikir, yang akhirnya melahirkan ungkapan.

    Karena, cinta itu memang biasa. Ekspresi cinta yang terkadang membuahkan sikap dan perilaku yang sama sekali tak biasa. Persoalannya, kita sudah memiliki agama yang mengatur segala-galanya. Kebenaran tak bisa diukur dengan takaran biasa atau tidak biasa. Sebab bila demikian, semakin terbiasa manusia dengan kerusakan, semakin sableng saja standar kebenaran itu. Kita terlalu waras untuk menjadikan hal itu sebagai prinsip.

    Sekilas Tentang Ayat-Ayat Cinta

    Baiklah. Kehadiran jilbab-jilbab cinta itu ternyata bukan hanya di sinetron tersebut. Dunia hiburan paling diminati kalangan remaja ini, kini mulai rajin dihadiri oleh bintang-bintang muda berjilbab, yang seolah-olah hendak menegaskan, “Inilah, dengan berjilbab pun kami masih bisa berprestasi sebagai aktris.”

    Penegasan yang sulit diserap maknanya, bukan karena kedalaman dan kepadatan substansinya, tapi karena nuansa maknanya yang sungguh membingungkan. Antara jilbab sebagai salah satu cara membatasi diri bagi wanita muslimah agar tidak menjadi santapan pandangan birahi dari lawan jenis, dengan dunia acting yang justru mendorong si remaji berjilbab untuk ditonton dan dipelototin sejuta umat, rasa-rasanya sangat rumit untuk disambung-sambungkan. “Cantik tapi tidak menggoda”, sebuah ungkapan yang makin menenggelamkan kita dalam kepanikan.

    Sekarang ini, tak begitu payah kita mendapatkan remaji-remaji berjilbab ikut meramaikan dunia entertainment, termasuk dunia sinetron, dunia musik, bahkan dunia layar lebar. Dan semuanya itu tak sepi dari permainan-permainan cinta gaya masa kini. Oh ya, cinta itu kini bahkan bercadar. Duhai, sebuah kenyataan yang makin membuat orang-orang shalih semakin gelisah menatap hidup. “Akan ke manakah arah generasi kami nanti?”

    Keterlibatan jilbab-jilbab cinta itu dalam dunia percintaan remaja masa kini, tidak cuma terkemas dalam sinetron atau film saja, tapi juga dalam bentuk cerpen dan novel-novel islami, yang sepertinya berupaya menggagas sebuah dimensi khusus dari gaya percintaan kaum remaja sekarang, yakni dengan bumbu-bumbu Islam dan pencarian jati diri sebagai remaja muslim, tanpa berupaya melepaskan diri dari ikatan-ikatan nafsu dan birahi dengan gaya kekinian.

    Maka, beratus-ratus cerpen dan novel “Islam” itu kini memadati rak-rak diberbagai book stores, dijual secara bebas, dan tetap dikonsumsi kalangan remaja muslim dengan gairah meluap-luap. Anugerah atau musibah? Jangan cepat-cepat memberi penilaian.

    Ini memang fenomena yang tidak normal, sekaligus PR BESAR, bagi orang tua, para pengajar, dan juru dakwah Islam. Maaf, jangan membuat dinding terlalu tinggi dan lebar antara dakwah dengan komunitas ini. Bahkan, coba kita sama-sama menempatkan komunitas ini secara nyaman di tengah-tengah berbagai medan dakwah yang kita garap dengan serius.

    Persoalan utamanya, kita sedang kehilangan sebagian dari komunitas kita yang sangat produktif, sangat menjanjikan di masa depan. Sepatutnya kita bersedih, dan seharusnya sudah semenjak dini kita kembali merangkul mereka ke habitat mereka yang sesungguhnya. Jangan biarkan mereka menjadi bagian dari modernisasi yang lebih dimaknai sebagai westernisasi, pengendapan budaya barat secara radikal, bukan sebagai pemajuan cara berpikir ke arah yang lebih manusiawi. Simbol-simbol keislaman mereka itu akan luluh lantak digilas perancuan nilai, pengrusakan moral-moral keislaman.

    Berbicara soal cinta menurut pandangan muda-mudi Islam sekarang, apa yang mereka sebut sebagai dunia cinta remaja yang islami, kembali mendapatkan legalitas, saat Ayat-ayat Cinta, sebuah novel remaja islami karya Habiburrahman El-Shirazy mendapatkan anugerah penghargaan sebagai Karya Sastra Terpuji. Karya ini memang sempat melejit dan mendapatkan pujian banyak kalangan. Setting dasar novel ini memang dilatarbelakangi nuansa religius. Sepertinya memang sengaja dikemas dengan idealisme kaum santri yang tengah menajajaki dunia percintaan dengan upaya ---menurut gagasan penulisnya--- tetap mempertahankan komitmen pada nilai-nilai Islam. Seperti halnya jilbab-jilbab cinta yang menjadi pendahulunya, novel ini hanya semakin meramaikan saja bombing kolaborasi cinta gaya remaja plus segala kenaifannya, dengan dimensi religius keagamaan yang dibuat sesantri mungkin.

    Novel ini memang menjadi berbeda dengan novel cinta kebanyakan. Sangat sarat dengan istilah-istilah keagamaan yang cukup mendalam, dan kadang tidak acceptable bagi kebanyakan kaum muslimin tanah air. Di mata awam, bisa jadi novel ini dianggap mampu membangun jiwa, seperti yang dimottokan penulisnya, dalam karyanya ini. Tapi penonjolan gelora-gelora cinta yang meski ditampilkan begitu lembut dan santun, tetap saja mengundang kecemasan, bahkan secara tidak langsung legalitas bagi yang ingin menjamah ke arah yang lebih dalam. Contohnya saja surat cinta yang ditulis oleh Naura, kepada Fahri, pemeran utama di novel tersebut. Berikut sedikit petikannya,

    Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

    Kepadamu kukirimkan salam terindah, salam sejahtera para penghuni surga. Salam yang harumnya melebihi kesturi, sejuknya melebihi embun pagi. Salam hangat sehangat sinar mentari waktu dhuha. Salam suci sesuci air telaga Kautsar yang jika direguk akan menghilangkan dahaga selama-lamanya. Salam penghormatan, kasih dan cinta yang tiada pernah pudar dan berubah dalam segala musim dan peristiwa.

    Wahai orang yang lembut hatinya,

    Entah dari mana aku mulai dan menyusun kata-kata untuk mengungkapkan segala sedu sedan dan perasaan yang ada di dalam dada. Saat kau baca suratku ini anggaplah aku ada di hadapanmu dan menangis sambil mencium telapak kakimu karena rasa terima kasihku padamu yang tiada taranya….

    Indah nian, dan kental betul efek religiusnya. Tapi lihatlah, betapa secara halus ada terjangan pada komitmen keislaman yang dibiarkan meriak-riak. “….anggaplah aku ada di hadapanmu dan menangis sambil mencium telapak kakimu karena rasa terima kasihku padamu yang tiada taranya….” Ini bahasa yang umum digunakan oleh muda-mudi yang terlibat adegan percintaan. Meski hanya sebatas bayangan, ungkapan itu sudah melambari nilai perbuatan haram itu dengan legalitas.

    Di alinea berikutnya, Naurah mengungkapkan,

    “Anggaplah saat ini aku sedang mencium kedua telapak kakimu dengan air mata haruku. Kalau kau berkenan dan Tuhan mengizinkan aku ingin menjadi abdi dan budakmu dengan penuh rasa cinta. Menjadi abdi dan budak bagi orang shalih yang takut kepada Allah tiada jauh berbeda rasanya dengan menjadi putri di istana raja…..”

    Ooo, Kang Abik mungkin saja mengelak, “Ah, itu hanya soal pembahasaan saja. Bukankah seorang istri diibaratkan oleh sebagian ulama sebagai budak bagi suaminya?”

    Saya tahu, bahwa alasan itu bisa saja diangkat. Tapi jujurlah, bahwa dalam konteks ini, ada nuansa yang sangat berbeda. Ini soal ungkapan yang dilontarkan wanita yang belum absah menjadi istri, kepada pria yang dicintainya. Ungkapan itu jelas memuat artikulasi maksud dengan cara berlebihan, khas ungkapan cinta muda-mudi yang dimabuk asmara. Di sini, titik rawan yang justru ditonjolkan sebagai bagian paling menarik dari sebuah novel roman. Meski tidak dapat ditampik, sisi religiusnya sangat berbeda dengan novel kebanyakan yang cenderung super sekuler, alias “gaul abis”. Betapapun novel ini tetap saja muncul dari “kenakalan” dalam berkarya. Sebagai alumnus Universitas sebesar Al-Azhar, bang Habib pasti mengerti betul soal ini.

    Maaf, sebagai pemerhati dakwah, dan sebagai santri, dan di sisi lain juga juru dakwah –dengan kapasitas yang masih lemah--, saya tentu wajib mencermati realitas, termasuk novel-novel islami ini.
    Oke, saya ada kritik menggelitik. Saat mengomentari dalam pendahuluan salah satu novel karya penulis produktif –Prie Gs--, Kang Abik pernah mengungkapkan kata-kata, yang intinya, bahwa dalam menggambarkan bentuk –maaf—paha seorang gadis, Ipung –pemeran utama novel cinta itu--, bisa terjebak pada gaya percintaan remaja yang naïf. Di situ, jelas Kang Abik amat mengerti batasan-batasan yang wajib diperhatikan. Namun dalam beberapa novelnya, Kang Abik terjebak dalam fenomena yang sama.

    Misalnya, dalam Ketika Cinta Bertasbih pertama, Kang Abik juga menggambarkan sosok seorang wanita muslimah, anak seorang Duta Besar Indonesia di Mesir, yang cantik…dan…dan…dan seterusnya. Deskripsi itu bahkan lebih jelas dan kentara, dari yang dilakukan Mas Prie Gs dalam novel remajanya tersebut. Jangan lupa, masih di buku yang sama, Kang Abik juga tersandung dalam mendeskripsikan sosok beberapa wanita lain, juga saat menjelaskan “Furqan” terjebak di hotel, difoto dalam kondisi tidak sadar, dengan seorang wanita dalam keadaan –maaf--bugil.

    Tak cukup dengan itu, dalam Ketika Cinta Bertasbih kedua, Kang Abik juga menceritakan bagaimana seorang wanita bernama Ana Althafun Nisaa, melepas pakaiannya di depan suaminya, Furqan, tanpa risih, dan masih banyak yang lainnya. Deskripsi yang sama, bahkan lebih berani, ada dalam Pudarnya Cinta Cleopatra, juga novelet Di Atas Mihrab Cinta.

    Bagi saya, Ayat-ayat Cinta Kang Abik adalah sebuah proses penulis sekaligus novelis muslim tanah air yang masih tergolong muda, untuk menuju master piece-nya. Bila Andrea Hirata berlari-lari mencari peruntungan diri dan karya paling fenomenalnya dari Laskar Pelangi, dan sementara berakhir pada Maryamah Karpov, ke manakah Kang Abik berlabuh? Manakah karya akhir yang menjadi karya puncaknya?

    Saya tidak berniat mencermati novel-novel Kang Abik secara khusus. Saya lebih ingin menekankan pembicaraan soal fenomena novel islami ini. Soal cerita fiktif, apakah boleh atau tidak, memang kontroversial di kalangan para ulama. Oke, bahwa di Indonesia pernah lahir seorang ulama –dengan kapasitas nasional--, yang juga seorang budayawan dan novelis, Prof. Dr. Hamka, atau yang dikenal dengan sapaan Buya Hamka. Tapi, bukan itu yang menjadi persoalan. Ayat-ayat Cinta akhirnya menjadi Novel Cinta Alternatif, ini yang menjadi masalah utamanya. Baik Ayat-ayat Cinta, maupun berbagai novel selanjutnya karya Kang Abik, semakin lama semakin menoleransi gaya percintaan masa kini, yang dibalut dengan nuansa religi. Bila Ayat-ayat Cinta masih malu-malu, Cinta Bertasbih makin berani, dan saya khawatir bila selanjutnya malah nekat, dan berujung pada nekat-nekatan. Bagaimana sosok Bulan Madu di Palestina, yang akan menjadi novel teranyar Kang Abik? Wallahu a’lam.

    Yang jelas, mencoba meniru langkahnya, beberapa penulis novel muslim –terutama dari kalangan pergerakan Islam— ikut-ikutan menggodok karya-karya pilihan mereka di dunia pernovelan. Ini soal latah-latahan, yang menurut mas Prie Gs sudah menjadi watak bangsa kita semenjak dahulu. Latah, kemudian tanpa sadar meniru-niru, bukan yang saya sorot dalam tulisan ini. Tulisan Kang Abik yang kemudian memancing gairah para penulis untuk menciptakan terobosan baru di dunia dakwah, mendakwahi masyarakat buku, dengan sajian cerita yang bermanfaat, boleh-boleh saja. Kisah-kisah nyata penuh hikmah juga banyak. Al-Quran sendiri sepertiganya adalah kisah. Semenjak dahulu ulama sering menceritakan pengalaman hidup, kisah orang-orang tertentu, dan riwayat hidup penuh makna dari para tokoh Islam sepanjang masa. Ibnul Jauzi termasuk yang paling gigih membuat kumpulan kisah semacam itu. Dari lebih seribu buku yang pernah ditulis, puluhan diantaranya berisi cerita. Salah satunya kumpulan kisah jenaka cendekia berjudul, Al-Adzkiya. Jadi, soal cerita sebagai media dakwah, sah-sah saja.

    Tapi, yang kemudian merebak adalah novel-novel cinta. Dan, sekali lagi, cinta seringkali membumbui sebuah aktivitas dan menjadikannya merah menyala-nyala.

    Masyarakat buku pun kembali dijejali oleh karya-karya fiksi seputar novel remaja “islami”, dengan gaya yang cukup beragam. Tapi masing-masing kuyup dengan romantika percintaan muda-mudi, di tengah kegelisahan mencari nilai-nilai kebenaran.

    Maka, lahirlah nuansa-nuansa unik seputar romantika asmara blasteran itu. Tereksposlah kejadian unik dimana seorang remaja berjilbab –yang akhirnya ketahuan sudah bersuami--, mahasiswi, cantik, berkejar-kejaran mengendarai sepeda motor dengan seorang remaja muslim yang juga mahasiswa di almamater yang sama. Ada juga sepasang muda-mudi, yang seorang pemuda dengan baju koko dan kopiah di kepalanya, seorang lagi gadis muda berjilbab dengan jubah lebarnya; terlibat percakapan serius, sedikit berbisik-bisik, tapi cukup mesra di sebuah pantai, hanya berduaan, ditengah kesunyian pinggir lautan, malam-malam pula. Aih, petikan hikmah apa yang bisa terhasilkan dari adegan konyol seperti itu. Jilbabmu saudariku, tak lagi menghalangimu untuk bermaksiat.

    Jadi, itulah cinta dalam pandangan kebanyakan kita. Ada selimut kabut seputar pemaknaannya, sehingga siapapun berhak memaknainya sebatas bagaimana mereka, siapa mereka dengan sudut pandang apa saja mereka memandangnya. Ada kegelisahan untuk tidak memahami cinta sebagai hubungan muda-mudi pra nikah, dengan gelora asmara yang menggoda, dengan balutan romantisme yang membutakan mata. Ada keresahan untuk tidak memaknai cinta sebagai candu yang membuat korbannya pusing tujuh keliling, makan tak enak dan tidur pun tak nyenyak, setiap kosa kata yang mirip dengan nama kekasihnya seperti layak dijadikan azimat, setiap tidur selalu berharap menjadi panggung adegan percintaan. Cinta harus dipahami dan dimaknai seperti itu, sehingga simbol-simbol keislaman remaja-remaja Islam yang juga berarti simbol-simbol keshalihan mereka, seperti jilbab dan jubah lebar, harus tunduk dibawah pendefinisian cinta seperti itu, bila ingin berkenalan dengan kata “cinta”, dan ingin diakui sebagai kaum remaja yang meskipun taat, tapi tak pernah ketinggalan zaman. Dan, betapa enggannya mereka menjauh dari dilema cinta itu, dan begitu unik pula kolaborasi yang akhirnya terbentuk antara cinta syahwat dengan simbol-simbol keislaman mereka itu. Sebuah pemaksaan ke arah sekulerisme gaya baru yang mencampuradukkan antara nilai-nilai kebenaran dengan legenda keduniaan secara amat sembrono, picik dan memalukan.

    -------

    Bagian pertama dari tiga tulisan dengan judul "Beda Cinta dengan Asmara".
    [[Baca seri berikutnya dengan judul Remaja Mencari Cinta]
    Sumber: Majalah NIKAH Edisi 02 volume 7, Jumadil Awwal – Jumadil Tsani 1429 H (15 Mei – 15 Juni 2008)

    0 komentar

  • Copyright © 2013 - Unbreakable Machine Doll - Ilmu Bermanfaat - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan