Posted by : sahdarullah
Minggu, 02 November 2014
A. Pengertian Hipotesis
Margono (2004: 80) menyatakan bahwa hipotesis berasal dari
perkataan hipo (hypo) dan
tesis (thesis). Hipo berarti kurang dari, sedang tesis berarti pendapat. Jadi hipotesis adalah suatu pendapat atau kesimpulan yang sifatnya masih sementara, belum benar-benar berstatus
sebagai suatu tesis. Hipotesis memang baru merupakan suatu kemungkinan jawaban dari masalah yang diajukan. Ia mungkin timbul sebagai dugaan
yang
bijaksana dari si peneliti atau diturunkan (deduced) dari teori yang telah ada.
Pada bagian lain, Margono (2004: 67) pun mengungkapkan pengertian lainnya tentang hipotesis. Ia menyatakan bahwa hipotesis adalah jawaban
sementara terhadap masalah penelitian yang secara teoretis dianggap paling
mungkin atau paling tinggi tingkat kebenarannya. Secara teknik, hipotesis
adalah pernyataan mengenai keadaan populasi yang akan diuji kebenarannya melalui data yang diperoleh dari sampel penelitian. Secara statistik, hipotesis merupakan pernyataan keadaan parameter yang akan diuji melalui
statistik sampel. Di dalam hipotesis itu terkandung suatu ramalan.
Ketepatan ramalan itu tentu tergantung pada penguasaan peneliti itu atas
ketepatan
landasan teoritis dan generalisasi yang
telah
dibacakan pada
sumber-sumber
acuan ketika melakukan telaah pustaka.
Mengenai pengertian hipotesis ini, Nazir
(2005: 151) menyatakan
bahwa hipotesis tidak lain dari jawaban sementara terhadap permasalahn
penelitian, yang
kebenarannya
harus diuji secara empiris. Menurutnya,
hipotesis menyatakan hubungan apa yang
kita cari
atau yang
ingin kita pelajari. Hipotesis
adalah
pernyataan yang
diterima secara sementara sebagai suatu kebenaran sebagaimana adanya, pada saat fenomena dikenal
dan merupakan dasar kerja serta panduan dalam verifikasi. Hipotesis adalah
keterangan sementara dari hubungan fenomena-fenomena yang kompleks.
Trelease (Nazir, 2005: 151) memberikan definisi hipotesis
sebagai “suatu keterangan sementara
sebagai
suatu
fakta
yang dapat
diamati”.
Sedangkan Good dan Scates (Nazir,
2005:
151)
menyatakan bahwa hipotesis
adalah sebuah taksiran atau referensi
yang dirumuskan
serta diterima untuk sementara yang dapat menerangkan fakta-fakta yang diamati ataupun kondisi-kondisi yang diamati, dan digunakan sebagai petunjuk untuk langkah-langkah penelitian selanjutnya. Kerlinger (Nazir, 2005: 151)
menyatakan bahwa hipotesis adalah
pernyataan yang bersifat terkaan dari
hubungan antara dua atau lebih variabel.
B. Ciri-Ciri Hipotesis
Setelah hipotesis dirumuskan, maka sebelum pengujian yang sebenarnya dilakukan, hipotesis harus dinilai terlebih dahulu. Untuk menilai kelaikan hipotesis, ada beberapa kriteria atau ciri hipotesis yang baik yang
dapat dijadikan acuan penilaian. Kriteria atau ciri hipotesis yang baik menurut Furchan (2004: 121-129) yaitu: (1) hipotesis harus mempunyai daya penjelas;
(2)
hipotesis harus menyatakan hubungan yang diharapkan ada di antara
variabel-variabel;
(3) hipotesis
harus dapat
diuji; (4) hipotesis
hendaknya konsisten dengan pengetahuan yang sudah ada; dan (5) hipotesis
hendaknya dinyatakan sederhana dan seringkas mungkin. Pendapat tersebut dikuatkan
oleh
Nazir. Menurut Nazir (2005:
152)
hipotesis yang
baik
mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut:
1. Hipotesis harus menyatakan hubungan.
Hipotesis harus merupakan pernyataan terkaan tentang hubungan-
hubungan antarvariabel. Ini
berarti bahwa
hipotesis mengandung dua
atau lebih variabel-variabel yang dapat diukur ataupun secara potensial dapat diukur.
Hipotesis menspesifikasikan bagaimana variabel-variabel tersebut berhubungan. Hipotesis yang tidak mempunyai ciri di atas, sama
sekali
bukan hipotesis dalam pengertian metode ilmiah.
2. Hipotesis harus sesuai dengan fakta.
Hiptesis harus cocok dengan fakta. Artinya, hipotesis harus terang.
Kandungan konsep dan variabel
harus jelas. Hipotesis harus dapat
dimengerti, dan tidak mengandung hal-hal yang metafisik. Sesuai dengan
fakta, bukan berarti hipotesis baru diterima
jika hubungan yang
dinyatakan harus cocok dengan fakta.
3. Hipotesis harus berhubungan dengan ilmu, serta sesuai dengan
tumbuhnya ilmu pengetahuan.
Hipotesis juga harus tumbuh dari dan ada hubunganya dengan ilmu
pengetahuan dan berada dalam bidang penelitian yang sedang dilakukan.
Jika
tidak, maka hipotesis bukan lagi terkaan, tetapi merupakan suatu
pertanyaan yang tidak berfungsi sama sekali.
4. Hipotesis harus dapat diuji.
Hipotesis harus
dapat
diuji, baik
dengan
nalar
dan
kekuatan
memberi
alasan ataupun dengan
menggunakan alat-alat
statistika.
Alasan yang diberikan biasanya bersifat deduktif. Sehubungan dengan ini, maka supaya dapat diuji,
hipotesis harus spesifik.
Pernyataan
hubungan antar variabel yang terlalu umum biasanya akan memperoleh banyak kesulitan dalam pengujian kelak.
5. Hipotesis harus sederhana.
Hipotesis harus
dinyatakan
dalam bentuk
yang sederhana
dan
terbatas untuk mengurangi timbulnya kesalahpahaman pengertian.
Semakin spesifik atau khas sebuah hipotesis dirumuskan, semakin kecil pula
kemungkinan terdapat salah
pengertian
dan
semakin
kecil
pula kemungkinan memasukkan hal-hal yang tidak relevan ke dalam hipotesis.
6. Hipotesis harus bisa menerangkan
fakta.
Hipotesis juga harus dinyatakan daam bentuk yang dapat menerangkan hubungan fakta-fakta yang ada dan dapat dikaitkan dengan
teknik pengujian yang dapat dikuasai. Hipotesis harus dirumuskan sesuai
dengan kemampuan teknologi
serta keterampilan menguji dari si peneliti.
Secara umum, menurut Nazir (2005: 153) hipotesis yang baik harus
mempertimbangkan semua fakta-fakta yang relevan, harus masuk akal dan
tidak bertentangan dengan hukum
alam yang
telah
diciptakan Tuhan. Hipotesis harus
dapat
diuji
dengan aplikasi deduktif atau
induktif untuk
verifikasi. Hipotesis harus sederhana.
C. Kegunaan Hipotesis
Dalam kegiatan penelitian, hipotesis merupakan sesuatu yang harus
dilakukan. Pentingya hipotesis dinyatakan oleh
Furchan (2004: 115) yang mengungkapkan setidaknya ada dua alasan yang mengharuskan penyusunan hipotesis. Kedua alasan tersebut ialah:
1. Hipotesis yang mempunyai dasar kuat menunjukkan bahwa peneliti telah mempunyai cukup pengetahuan untuk melakukan peneliatian di bidang
itu.
2.
Hipotesis memberikan arah
pada
pengumpulan dan penafsiran data; hipotesis dapat menunjukkan kepada peneliti prosedur
apa yang harus
diikuti dan jenis data apa yang harus dikumpulkan. Dengan demikian dapat
dicegah terbuang sia-sianya waktu dan jerih payah peneliti. Perlu
ditekankan bahwa hal ini berlaku bagi semua jenis studi penelitian, tidak
hanya yang bersifat eksperimen saja.
Dalam penelitian,
hipotesis merupakan hal yang sangat berguna.
Terkait dengan
hal
itu,
Furchan (2004:
115)
mengungkapkan kegunaan hipotesis penelitian, yaitu:
1. Hipotesis
memberikan penjelasan
sementara tentang
gejala-gejala
serta
memudahkan perluasan
pengetahuan dalam suatu bidang
Untuk dapat
sampai pada pengetahuan
yang
dapat dipercaya mengenai
masalah
pendidikan,
orang
harus melangkah
lebih
jauh
daripada
sekedar
mengumpulkan
fakta-fakta
yang berserakan,
untuk
mencari generalisasi dan antar hubungan yang ada di antara fakta-fakta itu. Antar-hubungan dan
generalisasi ini
akan memberikan gambaran
pola, yang penting bagi pemahaman persoalan. Pola semacam itu tidak
mungkin menjadi jelas selama pengumpulan data dilakukan tanpa arah.
Hipotesis yang telah terencana
dengan baik akan memberikan arah dan mengemukakan penjelasan-penjelasan. Karena hipotesis itu dapat diuji
dan divalidasi (diuji keshahihannya) melalui penyelidikan ilmiah, maka hipotesis dapat membantu kita memperluas pengetahuan.
2. Hipotesis
memberikan
suatu pernyataan hubungan yang berlangsung
dapat diuji dalam penelitian.
Pertanyaan tidak
dapat diuji secara
langsung. Penelitian memang
dimulai
dengan suatu pertanyaan, tatapi
hanya hubungan antara variabel-
variabel sajalah yang dapat diuji. Misalnya, orang tidak akan menguji pertanyaan “Apakah komentar guru terhadap pekerjaan murid
menyebabkan peningkatan hasil belajar secara nyata?” Akan tetapi orang dapat
menguji hipotesis yang
tersirat dalam pertanyaan tersebut: “Komentar guru terhadap hasil pekerjaan murid menyebabkan meningkatnya hasil belajar hasil belajar murid secara nyata”. Atau yang lebih spesifik lagi,
“Skor hasil belajar siswa yang menerima komentar guru atas pekerjaan mereka sebelumnya akan lebih tinggi daripada skor siswa
yang
tidak menerima komentar guru atas pekerjaan mereka sebelumnya”. Selanjutnya
orang
dapat meneliti hubungan antara kedua variabel itu, yaitu komentar
guru dan prestasi siswa.
3. Hipotesis memberikan arah kepada penelitian.
Hipotesis merupakan tujuan khusus. Dengan demikian hipotesis juga
menentukan sifat-sifat data yang
diperlukan guna menguji pernyataan
tersebut.
Secara sangat
sederhana,
hipotesis menunjukkan
kepada
peneliti apa yang harus dilakukan. Fakta-fakta yang harus dipilih dan
diamati adalah fakta yang ada hubungannya dengan pertanyaan tertentu.
Hipotesislah yang menentukan relevansi fakta-fakta itu. Hipotesis dapat
memberikan dasar bagi pemilihan sampel serta prosedur penelitian yang
harus dipakai. Hipotesis juga dapat menunjukkan analisis statistik yang diperlukan agar
ruang
lingkup
studi
tersebut
tetap
terbatas, dengan
mencegahnya menjadi terlalu sarat.
Sebagai contoh, lihatlah kembali hipotesis tentang latihan prasekolah anak-anak kelas satu yang mengalami hambatan kultural. Hipotesis itu
menunjukkan metode penelitian yang diperlukan serta sampel yang harus
dipakai. Hipotesis itu pun bahkan menuntun peneliti kepada tes statistik yang mungkin diperlukan
untuk menganalisis
data. Dari pernyataan
hipotesis
itu,
jelas
bahwa peneliti
harus melakukan eksperimen
yang
membandingkan hasil belajar di
kelas satu dari sampel siswa yang
mengalami hambatan kultural dan telah mengalami program prasekolah dengan sekelompok anak
serupa
yang tidak mengalami
program
prasekolah.
Setiap
perbedaan hasil
belajar
rata-rata
kedua kelompok tersebut dapat dianalisis dengan tes atau teknik analisis variansi, agar
dapat diketahui
signifikansinya menurut statistik.
4. Hipotesis memberikan kerangka untuk melaporkan kesimpulan penyelidikan
Hipotesis akan sangat memudahkan peneliti kalau ia
mengambil
setiap hipotesis
secara terpisah
dan
menyatakan
kesimpulan
yang relevan
dengan hipotesis itu. Artinya, peneliti dapat menyusun bagian
laporan tertulis ini
di seputar jawaban-jawaban terhadap hipotesis semula,
sehingga membuat
penyajian itu lebih berarti dan mudah dibaca.
D. Jenis-Jenis Hipotesis
Untuk membedakan jenis-jenis hipotesis, penulis mengutip pendapat Nazir
(2005: 153-154) yang menyatakan bahwa hipotesis dapat dibedakan
menjadi beberapa jenis, dan tergantung dari pendekatan dalam mebaginya. Menurut beliau, hipotesis dapat
dibagi sebagai
berikut:
1. Hipotesis Hubungan
dan Perbedaan
Hipotesis dapat kita bagi
dengan melihat apakah pernyataan
sementara yang diberikan adalah hubungan atau perbedaan.
Hipotesis
tentang hubungan adalah pernyataan rekaan yang menyatakan tentang
saling berhubungan antara dua variabel atau lebih, yang mendasari
teknik korelasi ataupun regresi. Sebaliknya, hipotesis yang menjelaskan
perbedaan menyatakan adanya
ketidaksamaan
antarvariabel
tertentu disebabkan oleh adanya pengaruh variabel-variabel yang berbeda-beda.
Hipotesis ini
mendasari teknik penelitian komparatif.
Hipotesis tentang
hubungan
dan
perbedaan
merupakan hipotesis
hubungan analitis. Hipotesis ini, secara analitis menyatakan hubungan atau perbedaan satu sifat dengan sifat yang lain.
2. Hipotesis Kerja dan Hipotesis Nul
Dengan melihat cara pandang seorang peneliti menyusun pernyataan
dalam hipotesisnya, hipotesis dapat dibedakan antara hipotesis kerja dan
nul. Hipotesis nul, yang mula-mula diperkenalkan oleh bapak statistikan
Fisher, diformulasikan untuk ditolak sesudah pengujian. Dalam hipotesis nul ini, selalu ada implikasi “tidak ada beda”. Perumusannya bisa dalam
bentuk:
“Tidak ada beda antara ….. dengan …..” Hipotesis nul dapat juga ditulis
dalam bentuk: “….tidak mem….”
Hipotesis biasanya diuji dengan menggunakan
statistika. Seperti telah dinyatakan di atas, hipotesis nul biasanya ditolak. Dengan
menolak
hipotesis nul, maka
kita
menerima
hipotesis
pasangan,
yang disebut
hipotesis alternatif.
Hipotesis nul biasanya digunakan dalam
penelitian eksperimental.
Akhir-akhir ini
hipotesis nul juga digunakan dalam penelitian
sosial,
seperti penelitian di bidang sosiologi, pendidikan dan lain-lain.
Hipotesis kerja, di lain pihak, mempunyai rumusan dengan implikasi
alternatif di dalamnya.
Hipotesis kerja
biasanya dirumuskan
sebagai
berikut:
“Andaikata…… maka……”
Hipotesis kerja biasanya diuji untuk
diterima dan dirumuskan oleh peneliti-peneliti ilmu sosial dalam disain yang noneksperimental. Dengan
adanya hipotesis kerja, si peneliti dapat bekerja lebih mudah
dan terbimbing dalam memilih
fenomena
yang relevan dalam rangka
memecahkan masalah penelitiannya.
3. Hipotesis tentang ideal vs common sense
Hipotesis acapkali menyatakan terkaan tentang dalil dan pemikiran bersahaja
dan common
sense
(akal
sehat).
Hipotesis ini
biasanya menyatakan hubungan keseragaman
kegiatan terapan. Contohnya,
hipotesis sederhana tentang
produksi dan status pemilikan tanah, hipotesis
mengenai
hubungan
tenaga kerja
dengan luas
garapan, hubungan antara
dosis pemupukan
dengan daya tahan terhadap
insekta, hubungan antara kegiatan-kegiatan dala industri, dan sebagainya.
Sebaliknya,
hipotesis
yang menyatakan
hubungan yang kompleks
dinamakan hipotesis jenis ideal. Hipotesis ini bertujuan untuk menguji
adanya hubungan logis antara keseragaman-keseragaman pengalaman empiris. Hipotesis ideal adalah
peningkatan
dari hipotesis
analitis. Misalnya, tentang hubungan jenis tanaman A dengan jenis tanah A dan jenis tanaman B dengan jenis tanah B. Jika kita perinci hubungan ideal di
atas, misalnya
mencari hubungan
antara varietas-varietas tanaman
A
saja, maka kita memformulasikan hipotesis analitis.
E. Tiga Bentuk Rumusan Hipotesis
Pendapat lain mengenai pengklasifikasian atau jenis-jenis hipotesis diungkapkan oleh Sugiyono (2001: 83-86). Ia menyatakan bahwa menurut tingkat eksplanasi yang akan duji, maka rumusan hipotesis dapat
dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu hipotesis deskriptif (pada suatu
sampel atau variabel mandiri/tidak dibandingkan dan dihubungkan),
komparatif dan hubungan.
1. Hipotesis Deskriptif
Menurut Sugiyono (2001: 83) hipotesis deskriptif adalah
dugaan
tentang nilai suatu variabel mandiri, tidak membuat perbandingan atau
hubungan.
Sebagai
contoh,
bila rumusan
masalah penelitian
sebagai
berikut ini, maka hipotesis (jawaban sementara) yang dirumuskan adalah
hipotesis deskriptif.
a. Seberapa tinggi daya tahan lampu merk X?
b. Seberapa tinggi
produktivitas padi di kabupaten Klaten?
c. Berapa lama daya tahan
lampu merk A dan B?
d. Severapa baik gaya kepemimpinan di lembaga X?
Dari tiga pernyataan tersebut antara lain dapat dirumuskan hipotesis
seperti berikut:
a. Daya tahan lampu merk X = 800 jam
b. Produktivitas padi di Kabupaten Klaten 8 ton/ha.
c. Daya tahan lampu merk A=450 jam dan
merk B=600 jam.
d. Gaya kepemimpinan di lembaga X telah mencapai 70% dari yang diharapkan.
Dalam perumusan hipotesis statistik,
antara hipotesis nol
dengan hipotesis alternatif selalu berpasangan, bila salah satu ditolak, maka yang
lain pasti diterima sehingga dapat dibuat keputusan yang tegas, yaitu
kalau Ho ditolak pasti alternatifnya diterima. Hipotesis statistik dinyatakan
melalui simbol-simbol.
Hipotesis statistik dirumuskan dengan simbol-simbol statistik,
dan antara hipotesis
nol
(Ho)
dan
alternatif selalu dipasangkan. Dengan
dipasankan itumaka dapat dibuat keputusan yang tegas, mana yang
diterima dan mana yang ditolak.
Berikut
ini diberikan contoh berbagai pernyataan
yang dapat
dirumuskan hipotesis deskriptif statistiknya:
a. Suatu perusahaan
minuman harus mengikuti ketentuan, bahwa salah
satu unsur kimia hanya boleh dicampurkan paling banyak 1%. (paling banyak
berarti lebih kecil atau sama dengan: ). Dengan demikian
rumusan hipotesisnya adalah:
Ho = 0,01 (lebih kecil
atau
sama dengan)
Ha = > 0,01 (lebih besar)
Dapat dibaca:
hipotesis nol untuk
parameter populasi
berbentuk proporrsi (1% : proporsi) lebih kecil atau sama dengan 1%, dan
hipotesis alternatifnya, untuk populasi yang berbentuk proporsi lebih
besar dari
1%.
b. Suatu bimbingan tes menyatakan bahwa
murid
yang dibimbing
di lembaga itu, paling sedikit 90% dapat diterima di perguruan tinggi
negeri. Rumusan hipotesis statistik adalah:
Ho : 0,90
Ha : 0,90
c. Seorang peneliti menyatakan bahwa daya tahan lampu merk A = 450
jam dan B = 600 jam.
Hipotesis statistiknya adalah:
Lampu A: Lampu B:
Ho :
|
= 450 jam
|
Ho :
|
= 600 jam
|
Ha
:
|
450
jam
|
Ha
:
|
600
jam
|
Harga dapat diganti dengan nilai rata-rata sampel, simpangan baku dan
varians. Hipotesis pertama dan kedua diuji dengan uji satu satu pihak (one tail) dan ketiga dengan dua pihak (two tail).
2. Hipotesis Komparatif
Menurut Sugiyono (2001: 85) hipotesis komparatif adalah pernyataan yang
menunjukkan dugaan
nilai dalam
satu variabel
atau lebih pada
sampel yang
berbeda. Contoh rumusan
masalah
komparatif dan
hipotesisnya:
a. Adakah perbedaan
daya tahan lampu merk A dan B?
b. Adakah perbedaan produktivitas kerja antara pegawai golongan I, II
dan
III?
Adapun
rumusan hipotesis adalah:
a. – Tidak terdapat perbedaan daya tahan lampu antara lampu merk A
dan B
- Daya tahan lampu merk B paling kecil sana
dengan lampu merk A
|
Rumusan uji hipotesis dua pihak
Rumusan uji hipotesis pihak kiri
Rumusan uji
hipotesis pihak kanan
b. Tidak terdapat
perbedaan (persamaan) produktivitas kerja
antara golongan I, II, III.
- Ho : 1 =
2 =
3
Ha : 1 2 = 3 (salah satu berbeda sudah merupakan Ha)
Dalam
hal
ini harga (mu)
dapat
merupakan
rata-rata
sampel, simpangan baku, varians dan proporsi.
3. Hipotesis Hubungan (Asosiatif)
Sugiyono (2001: 86) menyatakan bahwa hipotesis asosiatif adalah
suatu pernyataan yang menunjukkan dugaan tentang hubungan antara
dua variabel atau lebih. Contoh rumusan masalahnya adalah “Adakah
hubungan antara gaya kepemimpinan dengan efektivitas kerja?”. Rumus
dan hipotesis nolnya adalah: Tidak ada
hubungan antara gaya
kepemimpinan dengan efktivitas kerja.
Hipotesis statistiknya adalah:
Ho : = 0
Ha : 0
= simbol
yang
menunjukkan kuatnya hubungan.
Dapat dibaca: hipotesis nol, yang menunjukkan tidak adanya hubungan (nol = tidak ada hubungan) antara gaya kepempinan dengan efektivitas
kerja
dalam populasi. Hipotesis
alternatifnya menunjukkan ada
hubungan (tidak sama dengan nol, mungkin lebih besar dari
nol atau lebih
kecil
dari
nol).
F. Menggali dan Merumuskan Hipotesis
Nazir
(2005:
154)
menyatakan bahwa menemukan
suatu hipotesis merupakan kemampuan si peneliti dalam mengaitkan masalah-masalah dengan
variabel-variabel
yang dapat diukur
dengan
menggunakan suatu kerangka
analisis yang dibentuknya. Menggali dan merumuskan hipotesis
mempunyai seni
tersendiri. Si peneliti harus
sanggup
memfokuskan permasalahan sehingga hubungan-hubungan yang
terjadi dapat diterka. Menurut Nazir (2005: 154) dalam menggali hipotesis, si peneliti harus:
1.
Mempunyai banyak informasi tentang masalah yang ingin dipecahkan dengan jalan banyak membaca literatur-literatur yang ada hubungannya
dengan penelitian yang sedang dilaksanakan;
2.
Mempunyai kemampuan untuk memeriksa keterangan tentang tempat- tempat, objek-objek serta hal-hal yang
berhubungan
satu sama lain dalam
fenomena yang sedang diselidiki;
3.
Mempunyai kemampuan untuk menghubungkan suatu keadaan dengan keadaan lainnya yang sesuai
dengan kerangka teori ilmu dan bidang
yang bersangkutan.
Dalam penelitian ilmu-ilmu sosial yang telah cukup berkembang seperti
ilmu
ekonomi misalnya, perumusan hipotesis dimulai dengan pembentukan
kerangka analisis. Kerangka analisis ini biasanya dinyatakan dalam model
matematika. Hipotesis- hipotesis dikaitkan dengan model
matematika
tersebut,
yang
kemudian diuji dengan menggunakan data empiris.
Goode dan Hatt (Nazir,
2005:
155)
memberikan empat
buah sumber
untuk menggali hipotesis, yaitu:
1. Kebudayaan di
mana
ilmu tersebut dibentuk.
2.
Ilmu itu sendiri yang
menghasilkan teori, dan
teori
memberikan
arah kepada penelitian.
3. Analogi
juga merupakan hipotesis.
Pengamatan terhadap jagad
raya
yang serupa atau pengamatan yang serupa pada ilmu lain merupakan sumber
hipotesis yang baik. Mengamati respons berat hewan terhadap
makanan, memberikan analog tentang adanya respons tanaman
terhadap zat hara. Darinya dapat dirumuskan hubungan antara tumbuhan dengan zat hara dalam
tanah.
4. Reaksi
individu
dan
pengalaman. Reaksi
individu terhadap sesuatu, ataupun pengalaman-pengalaman sebagai suatu konsekuensi dari suatu
fenomena dapat merupakan sumber hipotesis. Reaksi tanaman terhadap pestisida, reaksi ayam terhadap suntikan suatu obat dapat merupakan
sumber hipotesis.
Pendapat lainnya mengenai sumber hipotesis diungkapkan oleh Good
dan Scates (Nazir, 2005: 155). Ia memberikan beberapa sumber yang dapat
digunakan untuk menggali
hipotesis, yaitu:
1. Ilmu pengetahuan dan pengertian yang mendalam
tentang ilmu.
2. Wawasan serta pengertian yang mendalam tentang suatu wawasan.
3. Imajinasi atau angan-angan.
4. Materi bacaan
dan literatur.
5. Pengetahuan
tentang
kebiasaan
atau
kegiatan
dalam daerah yang sedang
diselidiki.
6. Data yang tersedia.
7. Analogi atau kesamaan.
Nazir (2005: 156) menyatakan bahwa merumuskan hipotesis bukanlah hal yang
mudah.
Seperti telah disinggung, sekurang-kurangnya
ada
tiga
penyebab kesukaran dalam
memforumlasikan hipotesis, yaitu:
1. Tidak adanya kerangka teori atau pengetahuan tentang kerangka teori yang terang.
2. Kurangnya kemampuan untuk menggunakan kerangka teori yang sudah
ada, dan
3. Gagal berkenalan dengan teknik-teknik penelitian yang ada untuk dapat merangkaikan kata-kata dalam membuat hipotesis secara benar.
Hipotesis dibentuk dengan suatu pernyataan tentang frekuensi kejadian
atau hubungan antarvariabel. Dapat dinyatakan bahwa sesuatu terjadi dalam
suatu bagian dari seluruh waktu, atau suatu gejala diikuti oleh gejala lain, atau sesuatu lebih besar atau lebih kecil dari yang lain. Bisa juga dinyatakan tentang korelasi
satu dengan yang lain.
Hipotesis dapat juga menegaskan rekaan bahwa suatu ciri atau keadaan adalah
satu faktor yang menentukan ciri lain atau keadaan lain. Hipotesis
yang begini rupa dinamankan juga hipotesis sebag
akibat atau hipotesis
kausal. Misalnya suatu
hipotesis yang
menyatakan bahwa
pengalaman
waktu balita merupakan determinan personalitas waktu biasa.
Hipotesis merupakan
suatu
pernyataan yang
penting kedudukannya dalam
penelitian. Oleh karena itulah maka peneliti dituntut kemampuannya
untuk dapat merumuskan hipotesis ini dengan jelas. Borg dan Gall (Arikunto,
2002: 66)
mengajukan adanya persyaratan untuk hipotesis, yaitu:
1. Hipotesis harus dirumuskan denga singkat tetapi jelas.
2. Hipotesis harus dengan nyata menunjukkan adanya hubungan antara dua atau dua lebih variabel.
3. Hipotesis harus didukung oleh teori-teori yang dikemukakan oleh para ahli
atau
hasil penelitian yang relevan.
Margono (2004: 68) memberikan pedoman
yang
dapat digunakan
untuk merumuskan hipotesis. Pedoman tersebut yaitu:
1. Hipotesis dinyatakan sebagai
hubungan antara ubahan-ubahan.
2. Hipotesis dinyatakan dalam
kalimat pernyataan.
3. Hipotesis dapat diuji kebenarannya, atau peneliti dapat mengumpulkan
data
untuk menguji kebenarannya.
4. Hipotesis dirumuskan dengan jelas.
G. Cara Menguji Hipotesis
Setelah
hipotesis dirumuskan dan dievaluasi
menurut kriteria di
atas, hipotesis tersebut kemudian diuji secara empiris. Hipotesis tersebut harus lulus dari tes empiris dan tes logika. Gagasan terbaik, pendapat para ahli,
dan deduksi
pun
kadang-kadang bisa menyesatkan. Pada
akhirnya, semuanya itu harus diuji melalui
pengumpulan data yang teliti.
Menurut Furchan (2004: 130-131), untuk menguji hipotesis peneliti
harus:
1. Menarik kesimpulan tentang konsekuensi-konsekuensi yang akan dapat diamati
apabila hipotesis tersebut
benar.
2.
Memilih metode-metode penelitian yang akan memungkinkan
pengamatan, eksperimentasi, atau prosedur lain yang diperlukan untuk menunjukkan apakah akibat-akibat tersebut terjadi atau tidak, dan
3. Menerapkan metode ini serta mengumpulkan data yang dapat dianalisis
untuk menunjukkan apakah hipotesis tersebut didukung oleh data atau
tidak.
Seperti telah diketahui
bersama
bahwa fungsi hipotesis adalah
untuk memberikan suatu pernyataan terkaan tentang
hubungan
tentatif antara
fenomena-fenomena dalam penelitian.
Kemudian hubungan-hubungan
ini
akan diuji validitasnya menurut teknik-teknik yang sesuai untuk keperluan pengujian.
Bagi seorang peneliti, hipotesis bukan bukan merupakan suatu
hal yang menjadi vested interest, dalam artian bahwa hipotesis harus selalu diterima kebenarannya. Jika hipotesis ditolak karena tidak sesuai dengan
data, misalnya, keadaan ini tidak berarti si peneliti akan kehilangan muka.
Bahkan harga
diri
peneliti akan
naik jika
si peneliti dapat menerangkan
mengapa hipotesisnya tidak valid. Penolakan
hipotesis dapat merupakan
penemuan yang positif, karena telah memecahkan ketidaktahuan
(ignorance) universal dan memberi jalan kepada hipotesis yang lebih baik. Akan tetapi, seorang ilmuwan tidak dapat mengetahui bukti positif atau negatif kecuali
ilmuwan tersebut mempunyai
hipotesis
dan
dia
telah
menguji
hipotesis tersebut.
Hipotesis tidak pernah dibuktikan kebenarannya, tetapi diuji validitasnya.
Kecocokan hipotesis dengan fakta bukanlah membuktikan hipotesis, karena bukti tersebut memberikan alasan kepada kita untuk menerima hipotesis, dan
hipotesis adalah konsekuensi
logis dari
bukti
yang
diperoleh.
Untuk
menguji hipotesis
diperlukan
data atau fakta-fakta. Kerangka
pengujian harus ditetapkan terlebih dahulu sebelum si peneliti
mengumpulkan data. Pengujian
hipotesis memerlukan
pengetahuan
yang
luas mengenai teori, kerangka teori, penguasaan penggunaan teori secara
logis,
statistik, dan teknik-teknik pengujian. Cara
pengujian
hipotesis bergantung dari metode dan disain penelitian yang digunakan. Yang penting disadari adalah hipotesis harus diuji dan dievaluasikan. Apakah hipotesis tersebut
cocok dengan fakta atau
dengan
logika?
Ilmuwan
tidak
akan mengakui validitas ilmu pengetahuan jika validitas tidak diuji secara
menyeluruh.
Satu
kesalahan
besar
telah
dilakukan
jika dipikirkan
bahwa
hipotesis adalah fakta, walau bagaimanapun baiknya kita memformulasikan hipotesis tersebut.
Secara umum hipotesis dapat diuji denga dua cara, yaitu mencocokkan
dengan fakta, atau dengan mempelajari konsistensi logis. Dalam menguji
hipotesis dengan mencocokkan fakta,
maka diperlukan percobaan-percobaan untuk memperoleh data. Data tersebut kemudian kita nilai untuk mengetahui apakah
hipotesis tersebut cocok dengan fakta tersebut atau tidak. Cara ini
biasa dikerjakan dengan menggunakan disain percobaan.
Jika hipotesis diuji dengan konsistensi logis, maka si peneliti memilih suatu desain di mana logika dapat digunakan, untuk menerima atau menolak
hipotesis. Cara ini sering digunakan dalam menguji hipotesis pada penelitian
yang
menggunakan metode noneksperimental seperti metode
deskriptif,
metode sejarah, dan sebagainya.
H. Kekeliruan
Dalam Pengujian Hipotesis
Pada dasarnya menguji
hipotesis adalah menaksir parameter populasi berdasarkan data sampel. Menurut Sugiyono (2001: 86) menyatakan bahwa
terdapat dua cara menaksir, yaitu: a point estimate dan interval estimate atau
sering
disebut
convidence interval. A point estimate (titik taksiran) adalah suatu
taksiran parameter populasi
berdasarkan satu
nilai data
sampel. Sedangkan interval estimate (taksiran interval) adalah
sutau taksiran parameter populasi
berdasarkan nilai
interval
data sampel.
Sebagai contoh, saya berhipotesis (menaksir) bahwa daya tahan kerja
orang Indonesia itu 10 jam/hari. Hipotesis ini disebut point estimate, karena
daya
tahan kerja orang Indonesia ditaksir melalui satu nilai yaitu 10 jam/hari.
Bila hipotesisnya berbunyi daya tahan tenaga kerja orang Indonesia antara 8 sampai
dengan 12 jam/hari, maka hal ini
disebut
interval estimate.
Nilai
intervalnya adalah 8 sampai dengan 12 jam.
Menaksir
parameter
populasi
yang menggunakan
nilai tunggal (point estimate) akan mempunyai resiko kesalahan yang lebih tinggi di banding
denga yang
menggunakan interval estimate.
Menaksir daya
tahan kerja
orang
Indonesia 10 jam/hari akan mempunyai kesalahan yang lebih besar
bila dibandingkan dengan nilai taksiran antara 8 sampai dengan 12 jam. Makin
besar interval taksirannya maka akan semakin kecil kesalahannya. Menaksir
daya tahan
kerja orang Indonesia
6
sampai 14 jam/hari
akan
mempunyai kesalahan yang
lebih kecil bila dibandingkan dengan interval taksiran 8 sampai
12
jam. Untuk selanjutnya kesalahan taksiran ini
dinyatakan dalam peluang yang berbentuk prosentase. Menaksir daya tahan kerja orang Indonesia dengan interval antara 6 sampai dengan 14 jam/hari
akan mempunyai
prosentase kesalahan yang
lebih
kecil
bila digunakan interval taksiran 8 sampai dengan 12 jam/hari. Biasanya dalam penelitian kesalahan taksiran ditetapkan terlebih dahulu, yang digunakan adalah 5%
dan 1 %.
Semakin
kecil taraf
kesalahan yang ditetapkan,
maka interval
estimate-nya semakin besar, sehingga
tingkat
ketelitian
taksiran semakin
rendah.
Sugiyono (2001:
88)
menyatakan bahwa
dalam menaksir
populasi
berdasarkan data sampel
kemungkinan akan terdapat dua kesalahan,
yaitu:
1. Kesalahan Tipe I adalah suatu kesalahan bila menolak hipotesis nol (Ho)
yang benar (seharusnya diterima). Dalam hal ini
tingkat
kesalahan
dinyatakan dengan (baca alfa).
2. Kesalahan tipe II, adalah kesalahan bila menerima hipotesis yang salah
(seharusnya ditolak). Tingkat kesalahan untuk ini
dinyatakan dengan
(baca betha).
Berdasarkan hal tersebut, maka hubungan antara keputusan menolak atau menerima hipotesis dapat
digambarkan sebagai
berikut:
Keputusan
|
Keadaan Sebenarnya
|
|
Hipotesis Benar
|
Hipotesis Salah
|
|
Terima hipotesis
|
Tidak membuat kesalahan
|
Kesalahan Tipe II
|
Menolak hipotesis
|
Kesalahan Tipe I
|
Tidak membuat kesalahan
|
Dari tabel di atas dapat
dijelaskan sebagai
berikut:
1. Keputusan menerima hipotesis nol yang benar, berarti tidak membuat kesalahan.
2. Keputusan menerima hipotesis nol yang salah, berarti terjadi kesalahan
tipe II.
3. Membuat
keputusan menolak hipotesis
nol yang benar, berarti terjadi kesalahan tipe I.
4. Keputusan
menolak hipotesis nol yang
salah, berarti
tidak
membuat
kesalahan.
Bila nilai statistik (data sampel) yang diperoleh dari hasil pengumpulan data
sama dengan nilai parameter populasi atau masih berada pada nilai
interval parameter populasi, maka hipotesis yang dirumuskan 100% diterima.
Jadi tidak terdapat kesalahan.
Tapi bila nilai statistik di luar nilai parameter populasi akan
terdapat kesalahan. Kesalahan ini semakin besar bila nilai
statistik jauh dari nilai
parameter
populasi.
Tingkat kesalahan ini kemudian di sebut level of signican atau tingkat signifikansi.
Dalam
prakteknya
tingkat
signifikansi telah ditetapkan oleh
peneliti terlebih dahulu sebelum hipotesis diuji. Biasanya tingkat signifikansi
(tingkat kesalahan) yang diambil adalah 1% dan 5%. Suatu hipotesis terbukti dengan mempunyai kesalahan 1% berarti bila penelitian dilakukan pada 100
sampel yang diambil dari populasi yang sama, maka akan terdapat satu kesimpulan salah yang dilakukan untuk populasi.
I. Penelitian Tanpa Hipotesis
Mungkin
kita bertanya, apakah
semua penelitian
harus berhipotesis? Terkait dengan pertanyaan tersebut, untuk memberikan jawabannya,
Arikunto (2002:
71) menjelaskan ada dua alternatif jawaban.
Pendapat
pertama menyatakan,
semua
penelitian pasti
berhipotesis. Semua peneliti diharapkan menentukan jawaban sementara, yang akan diuji
berdasarkan data yang
diperoleh. Hipotesis
harus ada karena jawaban
penelitian juga harus ada, dan butir-butirnya sudah disebut dalam
problematika maupun tujuan penelitian.
Pendapat kedua mengatakan, hipotesis hanya dibuat jika yang dipermasalahkan
menunjukkan hubungan antara
dua
variabel atau
lebih.
Jawaban untuk satu variabel yang sifatnya deskriptif, tidak perlu dihipotesiskan. Penelitian eksploratif
yang jawabannya
masih
dicari
dan
sukar
diduga,
tentu
sukar ditebak
apa
saja,
atau bahkan tidk
mungkin
dihipotesiskan.
Berdasarkan pendapat kedua ini maka mungkin sekali di dalam sebuah
penelitian, banyaknya hipotesis tidak sama dengan banyaknya problematika
dan tujuan penelitian. Mungkin problematika unsur 1 dan 2 yang sifatnya
deskriptif tidak diikuti
dengan hipotesis, tetapi
problematika
nomor 3 dihipotesiskan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar