• Posted by : sahdarullah Kamis, 13 November 2014

    “Bangun imam besar, makmum dah nunggu nih….!”
    bisikan lembut yang mengikuti kecupan dipipiku itu membuatku tak bisa menolak untuk membuka mataku yang masih lengket ini. Kulirik jam di dinding oranye kamar tidur kami dengan seperempat mata terbuka. Pukul tiga pagi.

    “Setengah jam lagi ya makmum cantik,imam besar masih ngantuk berat nih…”  kututupkan lagi selimut yang tersingkap di kepalaku.

    “Gak mau, harus bangun sekarang, ntar kucubit lho…!”  kali ini rengekan manja ini tak bisa kutolak lagi. Dengan bergaya sempoyongan aku melangkah ke kamar mandi untuk berwudhu.

    “Eh, selimutnya gak usah dibawa sayang…”

    ***
    Pagi ini aku berpura-pura tampak capek. Setelah tidurku tadi malam “terganggu” untuk shalat malam, disambung lagi shalat subuh. Dan “terpaksa” membaca satu juz Al Qur’an agar aku tidak terlelap lagi.

    Dengan gaya kuyu, aku duduk di depan meja makan menanti sarapan yang disiapkan istriku. Hari ini aku harus berangkat pagi. Ada rapat.

    “Pagi Kanda…. pagi ini dinda buatkan sop favorit Kanda. Biar gak ngantuk lagi.”

    Senyum manis istriku sudah menyambut di ruang makan. Aku masih berpura-pura sebal. Padahal senyum itulah yang membuatku tak bisa pergi lama darinya dalam dua tahun terakhir ini.

    ***
    Aku teringat ketika pertama kali kami bertemu. Sebenarnya bukan yang pertama, dia adalah teman SMP-ku. Namun semenjak lulus SMP kami tak pernah berjumpa sampai bertemu di ruang Poliklinik Umum RS Dr. Sardjito. Secara kebetulan, sebuah skenario yang indah dari Sang Maha Sutradara. Perjumpaan itu yang akan mengubah jalan hidupku.
    Perutku yang melilit-lilit sejak pagi memaksaku untuk terpaksa menginjak tempat yang paling aku benci, rumah sakit. Mungkin karena hari sebelumnya aku dan teman-teman jurusan Teknik Mesin berpesta di rumah salah satu teman yang diwisuda. Seperti biasa anak-anak Mesin yang 98.57 persen laki-laki pasti akan melakukan sesuatu yang “radikal” walau kadang konyol. Sesuatu yang dianggap sebagai permainan untuk membuktikan “kajantanan” yang kadang tidak jelas parameternya. Kemenanganku di lomba makan sambal yang mengerikan telah mengantarku ke tempat yang kubenci ini.
    Waktu itu aku belum lulus, walaupun angka sepuluh menempel dengan malu-malu di semester yang aku tempuh. Biasa, anak mesin memang lambat lulus, begitu biasa aku berapologi. Walaupun sebenarnya sudah banyak juga temanku yang lulus. Termasuk yang menyediakan pesta sambal itu.


    Ketika aku melangkah masuk ke ruang periksa, kulihat senyum yang tidak pernah kulupakan. Yanti, teman SMP-ku dulu, aku tidak akan lupa. Meski kini dia memakai kerudung besar dikepalanya. Itulah satu-satunya perubahan besar yang tampak padanya. Selain itu dia juga bertambah cantik!

    “Masya Alloh, Tyo ya? Assalamu`alaikum.. kau kenapa?”

    Kata-kata pertama yang terucap setelah delapan tahun tak bertemu. Waktu itu aku tak banyak bicara, keterkejutanku dan sesuatu yang bergemuruh didalam hatiku membuatku jadi pendiam. Bahkan ketika dia mulai “menginterogasi” gejala sakitku aku hanya bisa menjawab sepotong-potong. Padahal biasanya aku sangat rewel bila diperiksa.

    Ketika itu Yanti masih co-ast. Setelah diwisuda menjadi S.Ked beberapa bulan sebelumnya. Entah mengapa sejak pertemuan itu aku menjadi selalu ingin bertemu dengannya. Padahal saat itu aku sudah punya pacar, Kristin.
    Ya, saat itu pergaulanku sangat bebas. Aku tak perduli ketika banyak temanku yang alim mempertanyakan hubunganku dengan Kristin yang Katholik itu. Waktu itu tak masalah bagiku pacaran dengan gadis beda agama. Toh kami belum tentu menikah.

    “Ah jangan fanatik, dosen kita aja ada yang istrinya beda agama. Dan mereka oke-oke aja”, argumen yang selalu aku pakai untuk menepis suara miring tentang Kristin.

    Namun akhir-akhir ini Kristin agak menjauh dariku setelah aku menolak ikut acara Natalan bersama keluarganya. Entahlah walaupun jauh dari sentuhan religius, aku masih merasa perlu untuk tetap konsisten sebagai seorang Islam. Aku pernah dengar ada ulama yang melarang umat islam ikut natalan.

    “Wah, males Kris. Lagian aku kan orang islam. Aneh kalo ikut Natalan, nanti dikira murtad aku…”

    Kristin yang mulai berlalu dan perjumpaanku yang berkesan di poloklinik, semakin membuatku mantap untuk mendekati Yanti. Kupikir ini seperti mengungkapkan cinta yang dulu tak terungkapkan saat SMP. Dulu aku pernah menyukai Yanti ketika SMP. Namun cinta monyet segera berlalu. Di SMA aku berpacaran dengan Erlin, Julia, Anna… kata teman-teman aku memang “buaya”!

    ***
    Yanti memang tak secantik Kristin yang aduhai itu. Tapi senyumnya yang ikhlas dan natural itu dan wajahnya yang tanpa sapuan kosmetik itu benar-benar membuatku melayang. Entahlah seharusnya aku tidak tertarik pada penampilannya yang full cowled itu. Kurasa ada something wrong pada hatiku. Biasanya aku hanya mengejar gadis untuk having fun. Dan tentu saja gadis yang bisa diajak having fun bukan tipe seperti Yanti ini.

    Aku tahu karakter orang-orang berkerudung besar seperti Yanti ini. Mereka anti pacaran. Karena itu aku mencari metode pendekatan lain. Kukirim SMS dengan pesan-pesan religius yang kudapat adri anak-anak SKI dan buku-buku agama. Atau sekedar mampir ke rumahnya dengan berjuta alasan agar bisa bertemu. Mengajak reuni atau sekedar menanyakan kabar. Dan tentu saja aku harus tampil dengan penampilan yang menunjang. Harus tampil religius. Baju koko plus peci pinjaman menjadi modal meyakinkan. Itu pun aku tak pernah bisa mengobrol berdua. Yanti selalu saja mengajak ibunya ikut berbincang. Wah aku jadi keki. Ilmu “menggombal buaya”-ku tak bisa kupakai. Tapi tetap saja aku senang. Melihat senyumnya saja membuatku melihat dunia ini dua kali lebih indah! Suer!

    Setelah sebulan berjalan aku mulai yakin bahwa aku jatuh cinta beneran sama Yanti. Kubulatkan tekad untuk menyatakan isi hati ini padanya. Dengan segenap pengalamanku sebagai “buaya”, kutulis surat cinta penuh rayuan gombal. Kukirim surat itu melalui kurir, Udin, seorang teman co-ast SMA-ku. Kupesan agar jawabannya kalau bisa segera. Udin sih oke-oke aja, jajan bakso di Gejayan pasti tak dapat ditolaknya.


    ***
    Jantungku berdegup keras ketika Udin menelponku dan mengatakan Yanti ingin bertemu di depan bangsal anak satu jam lagi. Degg…
    satu jam yang sangat lama bagiku. Aku terus berdo'a,
    “Ya Alloh jadikanlah cintaku bersambut cintanya…”

    Ya. Kadang-kadang aku pun masih ingat Alloh, terutama saat tak ada cara lain yang ada didalam benakku selain do'a.

    Selasar didepan bangsal anak. Peristiwa yang sangat berkesan di dalam hatiku. Dengan penampilan yang meyakinkan. Baju koko terbaru dan rambut terpotong rapi aku melangkah menemui Yanti yang sudah menunggu. Dia masih mengenakan jas praktikum putihnya. Senyumnya sudah mengambang melihat kedatanganku. Wah, prospek cerah nih..!

    “Assalamu'alaikum… sudah baca suratku kan?” sapaku dengan salam

    “Waalaikumussalam. Sudah. Jadi Tyo suka sama saya, cinta sama saya?” suara lembutnya terdengar seperti seorang ibu yang menghadapi anak nakalnya. “Trus Tyo sekarang mau apa?”

    “Ya terus gimana dengan Yanti? Yanti terima tidak cinta saya?” Gleg, lidahku kelu. Padahal biasanya menggombal adalah keahlianku. Namun kali ini aku benar-benar kena batunya!

    “Tentu saja yanti terima cinta Tyo. Masak sih orang ngasih cinta mau ditolak.”

    Aku sedikit keki, kenapa dia malah tertawa kecil begitu.

    "Terus habis itu gimana?” Yanti bertanya lagi, masih dengan senyumnya yang lembut yang membuatku hampir tak bisa bicara.

    "Yaa.. terus kita jadian. Kau… jadi pacarku, begitu…” jawabku ragu. Ingin kutelan lagi kalimat yang baru saja meluncur dari mulutku. Mengingat aku tahu karakter orang-orang seperti Yanti yang anti pacaran.

    “Wah kenapa pacaran? Gimana kalau kita menikah saja?"

    Degg… aku hanya berdiri kaku. Menikah? Sebuah tantangan yang baru pertama kali ini ku terima. Hari ini Si Buaya bener-bener KO! Aku tak habis pikir. Selama karirku menjadi “buaya”, tak satupun gadis yang berani menantangku menikah. Apalagi pada saat “ditembak”

    “Berarti harus me..menikah ya..? wah, kalau begitu aku pikir-pikir dulu deh”

    Pikir-pikir? Jawaban yang tidak bermutu setelah pernyataan cinta yang menggebu-gebu. Namun hanya itulah amunisi kata-kata yang kupunyai saat itu. Sementara amunisi lain sudah lenyap karena kondisi yang diprediksi tidak sesuai kenyataan.


    ***
    Menikah! Aku harus berani! Tak perduli apa kata orang, aku sudah jatuh cinta beneran sama Yanti! Masa buaya takut ditantang menikah! Tapi kemudian aku teringat cerita-cerita sumbang tentang pernikahan. Orang menikah akan dibebani tanggung jawab. Harus setia. Harus punya pekerjaan. Harus ini. Harus itu. Nanti kalau punya anak kan repot. Perlu biaya besar. Dan segala macam problema rumah tangga yang pernah kudengar dari mereka yang sudah berpengalaman menikah, menghantui pikiranku.

    Dan yang jelas setelah menikah aku tidak akan bebas lagi!
    Itulah yang terlintas dipikiranku. Aku mulai ragu, apalagi sehari setelah peristiwa itu Kristin mengajakku balikan. Aku semakin bingung dan kacau. Di satu sisi jujur kuakui, aku sangat takut untuk menikah. Di sisi lain aku benar-benar terobsesi pada Yanti. I'm truly, madly, depply, do love her.

    Pusing…  aku mulai kalut dan kacau. Kuliah yang tinggal mengulang sering kutinggalkan. Aku lebih sering membaca buku. Di kos, perpus, dan bahkan toko buku. Temanya tentu saja tentang pernikahan. Namun buku-buku itu hanya membuatku semakin pening. Ada yang bilang menikah saat kuliah itu sangat mendukung perkembangan jiwa seseorang. Namun di buku lain mengatakan bahwa menikah di usia muda hanya kan membawa perceraian dan ketidak bahagiaan.

    Akhirnya kuputuskan untuk berpikir sendiri. Sepekan penuh aku berpikir keras. Bahkan laporan praktikum pun harus menunggu. Kucoba menata satu-persatu masalah dan potensi yang akan kuhadapi dan aku punyai untuk menikah.

    Masalah? Tentu saja, karena aku masih kuliah.
    Orang bilang kalau menikah saat kuliah akan berantakan salah satunya. Ah, itu cuma kata orang. Yang lain juga bilang menikah di saat kuliah justru akan membuat kita lebih dewasa. Kurasa masalah lain yang jauh lebih besar adalah bahwa aku belum punya penghasilan. Kata orang kalau menikah seorang laki-laki harus menafkahi istri dan keluarganya. Wah, bagaimana mau menafkahi sementara aku belum bekerja. Tapi kurasa babeh juga tidak keberatan untuk melipat duakan kiriman bulanan. Selain beliau cukup berada untuk mensuplai dana buatku, beliau juga pernah berkata bahwa jika kau menikah dan belum punya pekerjaan, beliau akan membantu.

    Setelah sekian waktu berpikir keras aku menyerah. Kurasa otakku tak kan mampu untuk mengeksekusi sebuah keputusan untuk menikah atau tidak. Di tengah keputusasaanku aku teringat Udin. Kurasa dia bisa membantuku memecahkan masalah ini. Aku selalu percaya anak-anak SKI dan alumninya punya kebijakan yang bisa aku andalkan untuk memecahkan masalah-masalah rumit. Mereka punya instuisi yang menakjubkan untuk menghadapi masalah yang berat sekalipun. Aku minta pertimbangan pada Udin yang alim ini. Udin hanya tertawa. “Shalat Istikharah saja. Minta petunjuk sama Alloh”.


    ***

    Kuputuskan untuk mengikuti saran Udin. Kuambil air wudhu dengan sempurna dan aku shalat dengan khusuknya. Kurasa itu shalatku yang paling khusuk sepanjang hidupku. Kupasrahkan segalanya pada-Nya. Jikalau Yanti yang terbaik untukku maka kuatkanlah tekadku untuk menikah dengannya. Jikalau bukan maka biarkanlah kami berdua menjadi sahabat yang sejati. Sebuah do'a yang tak pernah keluar dari dalam hatiku sebelumnya. Namun do'a ini kini amat kusyukuri. Mungkin ini salah astu do'a terbaik sepanjang hidupku.

    Esok pagi aku bangun dengan serah tekadku bulat. Alloh dan cintaku akan menguatkan kelemahanku!
    Akan kupenuhi tantangan Yanti.



    "Maukah kau menikah denganku?"
    Kalimat itu terus terucap dihatiku. Kutelpon orang tuaku.. Dan mereka memberiku lampu hijau.

    “Yang penting kamu lulus kuliah.”

    Untungnya orang tuaku permisif untuk urusan ini. Kebetulan keluarga orang tuaku punya kultur menikah usia muda dan ini kusyukuri sampai saat ini. Tak lupa beliau berdua mengucapkan selamat atas keberanianku untuk menikah. Selama ini beliau berdua selalu mendesakku untuk segera menikah, tapi aku selalu menjawab,” ntar kalau dah lulus.”

    Kukirim SMS kepada Yanti. Aku ingin bertemu dengannya di tempat yang sama di saat dia menantangku. Di depan bangsal anak. Kubilang aku ingin menyampaikan sesuatu pertanyaan penting.

    Walaupun hatiku sudah mantap, jantungku masih saja berdegup keras. Di hatiku masih berlintasan berbagai pertanyaan. Bagaimana kalau dia menolak? Kalau setuju, bagaimana nanti kesiapanku? Ah, kutepis semua pertanyaan itu. Kalaupun dia menolak artinya Alloh belum menentukan dia sebagai jodohku. Tentang bagaimana nanti, kupasrahkan pada Alloh semata. Entahlah aku menjadi lebih religius setelah bertemu Yanti.

    Kali ini aku tampil sederhana, aku pasrah pada Alloh atas segalanya. Aku merasa ringan dan bersih. Kaos lengan panjang hitam, celana cargo, dan sandal gunung. Sangat berbeda dengan saat pertemuan sebelumnya. Aku ingin tampil apa adanya, inilah aku, dengan segala kelebihan dan kekuranganku.

    Dan selasar di depan bangsal anak menjadi saksi. Dengan bergetar, bismillah kukatakan,” Yanti maukah kau menikah denganku?” pertanyaan yang terlalu lugas buat seekor buaya sepertiku. Namun saat itu hanya itulah kata-kata yang kumiliki. Sebuah ungkapan terjujur yang pernah aku ungkapkan pada gadis yang kucintai.

    “Saya insya Alloh… bersedia… menjadi istri Tyo. Tapi syaratnya Tyo harus mau mengaji…”

    Kali ini jawaban Yanti sangat serius. Senyum yang biasanya menghiasi wajahnya menghilang. Suaranya bergetar terbata-bata, seperti suaraku saat mengucapkan pertanyaan berat itu dengan serak. Mata indahnya berkaca-kaca.
    Dunia seakan lepas dari kakiku. Semua beban lenyap tak bersisa. Aku mau teriak pada seluruh dunia sebuah proklamasi ”Aku cinta Yantiii…!!!!”  Namun kesadarn masih bersamaku. Aku masih teringat di mana aku berada. Ku ambil napas panjang. ”Alhamdulillah, ya aku mau mengaji…”

    Sore itu kutraktir Udin atas suksesnya lamaranku.

    “wheii…masya Alloh. Selamat ya!” Udin menepuk bahuku dengan bangga dan bahagia.

    “wah kalau begitu nanti pas walimahannya aku mau jadi EO-nya”

    Tawaran yang takkan kutolak. Setidaknya Udin menjdi mak comblangku. Hari ini sekerat ayam goreng terasa sangat enak dimulutku. Mungkin yang terenak sepanjang yang pernah kurasakan.

    Pagi itu kuterima SMS dari Yanti.”ngajinya mulai nanti sore lho. Nanti dijemput Udin didepan parkiran RS jam 4 sore.”

    Hah? Ngaji sore-sore? Lagian bukannya ngaji bisa sambil nonton TV. Kayak pengajiannya Aa Gym. Padahal sore ini aku ada latihan basket. Aku bingung sesaat, namun demi cinta apapun kan kujalani… huii gombal!

    Sore itu kujemput Udin. Kami menuju tempat yang ditunjukkan Udin. Sebuah rumah kos kecil di Pogung. Aku heran, tak ada tanda-tanda orang akan pergi mengaji disitu.

    “Mana pengajiannya, Din, kok sepi?” tanyaku ragu.

    “Di dalam. Dah masuk saja.”

    Ternyata yang disebut pengajian oleh Yanti jauh berbeda dari yang kubayangkan. Sebuah pertemuan kecil dengan salah satu orang menjadi pemateri. Dan semuanya mahasiswa! Tak ada kyai yang kubayangkan mengisi pengajian ini. Dan temanya pun sangat beragam dan berbeda dari pengajian yang biasa aku kenal.

    Aku mudah merasa include dengan mereka meski semua itu asing bagiku. Dengan segala ke-alim-an, keramahan,dan keterbukaan mereka membuatku yang masih beginner ini tidak merasa tertinggal terlalu jauh. Tak ada kesan arogan dan merasa lebih senior pada mereka. Walau jelas aku tidak ada apa-apanya dibanding mereka.

    Dan saat yang agung dalam hidupku itu pun tiba. Setelah sebulan sejak aku melamar Yanti, kami menikah. Suasana yang begitu sakral kurasakan. Setelah ikrar agung itu ku ucapkan dan Yanti mencium tanganku pertama kalinya. Tak kuasa kutahan air mata haru dan bahagiaku. Senyum photo genitku berantakan ketika Udin memfoto kami berdua.

    ” Hoi jangan nangis, ini khan hari bahagia.” Udin terus saja menggoda kami

    Ya sejak saat itulah perjalanan hidup kami lalui bersama. Aku terus berproses menjadi manusia sejati dengan dorongan dari Yanti yang tak pernah terputus. Dialah co-ast dan trainerku. Banyak ilmu agama yang belum kuketahui kudapat darinya. Tak perlu malu atau gengsi. Toh kenyataanya aku memang harus banyak belajar. Walaupun dia juga sering kutraining bagaimana merawat mesin motornya dengan baik.

    Saat aku malas mengaji, dialah yang selalu mendorongku.

    ”Bu Dokter hari ini daku absen ngaji ya? Capek nih, habis nguber-uber dosen pembimbing…”

    “Gak boleh darling calon S.T. gak boleh males ngaji. Inget janji dulu, hayo. Kalo gak ngaji gak ada yang mijitin nanti malam.”

    Senyummu memang charge bagi semangatku yang mudah luntur ini.
    Kau juga yang selalu membuatku tak pernah kehabisan energi untuk menyelesaikan tugas akhirku yang berat. Hingga wisudaku tak terasa sudah di depan mata. Foto wisuda bersama istri yang dulu kuanggap khayal terwujud juga. Wah senangnya!


    ***

    “Eh kok malah senyum-senyum sendiri? Gak enak ya sopnya?” pelukan hangat istriku membuyarkan nostalgiaku.

    “Emmm… enak kok enaaaakkk sekali. Cuma lagi ngelamunin gimana tampang baby kita kalau dah lahir nanti. Ganteng kayak babehnya ato cantik kayak umminya.”

    “Uuu…gombal!”

    Seperti biasa kalau gemas, Yanti mencubitku. Aku hanya tertawa.

    Sungguh besar pahala bagi mereka yang rela menjadi jalan hidayah bagi orang lain. Kutatap lagi Yanti, Ummu Sulaimku. Kekasihku, bidadariku dengan sepenuh kasih. Sungguh BIDADARI TAK SECANTIK SENYUMMU…

    =
    ==
    ===
    ======

    catatan: dari note Nisa Al-Khansa' http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150092897890426

    0 komentar

  • Copyright © 2013 - Unbreakable Machine Doll - Ilmu Bermanfaat - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan