“Bangun imam besar, makmum dah nunggu nih….!”
bisikan
lembut yang mengikuti kecupan dipipiku itu membuatku tak bisa menolak
untuk membuka mataku yang masih lengket ini. Kulirik jam di dinding
oranye kamar tidur kami dengan seperempat mata terbuka. Pukul tiga pagi.
“Setengah jam lagi ya makmum cantik,imam besar masih ngantuk berat nih…” kututupkan lagi selimut yang tersingkap di kepalaku.
“Gak
mau, harus bangun sekarang, ntar kucubit lho…!” kali ini rengekan
manja ini tak bisa kutolak lagi. Dengan bergaya sempoyongan aku
melangkah ke kamar mandi untuk berwudhu.
“Eh, selimutnya gak usah dibawa sayang…”
***
Pagi
ini aku berpura-pura tampak capek. Setelah tidurku tadi malam
“terganggu” untuk shalat malam, disambung lagi shalat subuh. Dan
“terpaksa” membaca satu juz Al Qur’an agar aku tidak terlelap lagi.
Dengan
gaya kuyu, aku duduk di depan meja makan menanti sarapan yang
disiapkan istriku. Hari ini aku harus berangkat pagi. Ada rapat.
“Pagi Kanda…. pagi ini dinda buatkan sop favorit Kanda. Biar gak ngantuk lagi.”
Senyum
manis istriku sudah menyambut di ruang makan. Aku masih berpura-pura
sebal. Padahal senyum itulah yang membuatku tak bisa pergi lama darinya
dalam dua tahun terakhir ini.
***
Aku teringat
ketika pertama kali kami bertemu. Sebenarnya bukan yang pertama, dia
adalah teman SMP-ku. Namun semenjak lulus SMP kami tak pernah berjumpa
sampai bertemu di ruang Poliklinik Umum RS Dr. Sardjito. Secara
kebetulan, sebuah skenario yang indah dari Sang Maha Sutradara.
Perjumpaan itu yang akan mengubah jalan hidupku.
Perutku yang
melilit-lilit sejak pagi memaksaku untuk terpaksa menginjak tempat yang
paling aku benci, rumah sakit. Mungkin karena hari sebelumnya aku dan
teman-teman jurusan Teknik Mesin berpesta di rumah salah satu teman yang
diwisuda. Seperti biasa anak-anak Mesin yang 98.57 persen laki-laki
pasti akan melakukan sesuatu yang “radikal” walau kadang konyol. Sesuatu
yang dianggap sebagai permainan untuk membuktikan “kajantanan” yang
kadang tidak jelas parameternya. Kemenanganku di lomba makan sambal yang
mengerikan telah mengantarku ke tempat yang kubenci ini.
Waktu
itu aku belum lulus, walaupun angka sepuluh menempel dengan malu-malu di
semester yang aku tempuh. Biasa, anak mesin memang lambat lulus,
begitu biasa aku berapologi. Walaupun sebenarnya sudah banyak juga
temanku yang lulus. Termasuk yang menyediakan pesta sambal itu.
Ketika
aku melangkah masuk ke ruang periksa, kulihat senyum yang tidak pernah
kulupakan. Yanti, teman SMP-ku dulu, aku tidak akan lupa. Meski kini
dia memakai kerudung besar dikepalanya. Itulah satu-satunya perubahan
besar yang tampak padanya. Selain itu dia juga bertambah cantik!
“Masya Alloh, Tyo ya? Assalamu`alaikum.. kau kenapa?”
Kata-kata
pertama yang terucap setelah delapan tahun tak bertemu. Waktu itu aku
tak banyak bicara, keterkejutanku dan sesuatu yang bergemuruh didalam
hatiku membuatku jadi pendiam. Bahkan ketika dia mulai “menginterogasi”
gejala sakitku aku hanya bisa menjawab sepotong-potong. Padahal
biasanya aku sangat rewel bila diperiksa.
Ketika itu
Yanti masih co-ast. Setelah diwisuda menjadi S.Ked beberapa bulan
sebelumnya. Entah mengapa sejak pertemuan itu aku menjadi selalu ingin
bertemu dengannya. Padahal saat itu aku sudah punya pacar, Kristin.
Ya,
saat itu pergaulanku sangat bebas. Aku tak perduli ketika banyak
temanku yang alim mempertanyakan hubunganku dengan Kristin yang
Katholik itu. Waktu itu tak masalah bagiku pacaran dengan gadis beda
agama. Toh kami belum tentu menikah.
“Ah jangan fanatik,
dosen kita aja ada yang istrinya beda agama. Dan mereka oke-oke aja”,
argumen yang selalu aku pakai untuk menepis suara miring tentang
Kristin.
Namun akhir-akhir ini Kristin agak menjauh
dariku setelah aku menolak ikut acara Natalan bersama keluarganya.
Entahlah walaupun jauh dari sentuhan religius, aku masih merasa perlu
untuk tetap konsisten sebagai seorang Islam. Aku pernah dengar ada
ulama yang melarang umat islam ikut natalan.
“Wah, males Kris. Lagian aku kan orang islam. Aneh kalo ikut Natalan, nanti dikira murtad aku…”
Kristin
yang mulai berlalu dan perjumpaanku yang berkesan di poloklinik,
semakin membuatku mantap untuk mendekati Yanti. Kupikir ini seperti
mengungkapkan cinta yang dulu tak terungkapkan saat SMP. Dulu aku pernah
menyukai Yanti ketika SMP. Namun cinta monyet segera berlalu. Di SMA
aku berpacaran dengan Erlin, Julia, Anna… kata teman-teman aku memang
“buaya”!
***
Yanti memang tak secantik Kristin yang
aduhai itu. Tapi senyumnya yang ikhlas dan natural itu dan wajahnya
yang tanpa sapuan kosmetik itu benar-benar membuatku melayang. Entahlah
seharusnya aku tidak tertarik pada penampilannya yang full cowled itu. Kurasa ada something wrong pada hatiku. Biasanya aku hanya mengejar gadis untuk having fun. Dan tentu saja gadis yang bisa diajak having fun bukan tipe seperti Yanti ini.
Aku
tahu karakter orang-orang berkerudung besar seperti Yanti ini. Mereka
anti pacaran. Karena itu aku mencari metode pendekatan lain. Kukirim
SMS dengan pesan-pesan religius yang kudapat adri anak-anak SKI dan
buku-buku agama. Atau sekedar mampir ke rumahnya dengan berjuta alasan
agar bisa bertemu. Mengajak reuni atau sekedar menanyakan kabar. Dan
tentu saja aku harus tampil dengan penampilan yang menunjang. Harus
tampil religius. Baju koko plus peci pinjaman menjadi modal meyakinkan.
Itu pun aku tak pernah bisa mengobrol berdua. Yanti selalu saja
mengajak ibunya ikut berbincang. Wah aku jadi keki. Ilmu “menggombal
buaya”-ku tak bisa kupakai. Tapi tetap saja aku senang. Melihat
senyumnya saja membuatku melihat dunia ini dua kali lebih indah! Suer!
Setelah
sebulan berjalan aku mulai yakin bahwa aku jatuh cinta beneran sama
Yanti. Kubulatkan tekad untuk menyatakan isi hati ini padanya. Dengan
segenap pengalamanku sebagai “buaya”, kutulis surat cinta penuh rayuan
gombal. Kukirim surat itu melalui kurir, Udin, seorang teman co-ast
SMA-ku. Kupesan agar jawabannya kalau bisa segera. Udin sih oke-oke aja,
jajan bakso di Gejayan pasti tak dapat ditolaknya.
***
Jantungku berdegup keras ketika Udin menelponku dan mengatakan Yanti ingin bertemu di depan bangsal anak satu jam lagi. Degg…
satu jam yang sangat lama bagiku. Aku terus berdo'a,
“Ya Alloh jadikanlah cintaku bersambut cintanya…”
Ya. Kadang-kadang aku pun masih ingat Alloh, terutama saat tak ada cara lain yang ada didalam benakku selain do'a.
Selasar
didepan bangsal anak. Peristiwa yang sangat berkesan di dalam hatiku.
Dengan penampilan yang meyakinkan. Baju koko terbaru dan rambut
terpotong rapi aku melangkah menemui Yanti yang sudah menunggu. Dia
masih mengenakan jas praktikum putihnya. Senyumnya sudah mengambang
melihat kedatanganku. Wah, prospek cerah nih..!
“Assalamu'alaikum… sudah baca suratku kan?” sapaku dengan salam
“Waalaikumussalam.
Sudah. Jadi Tyo suka sama saya, cinta sama saya?” suara lembutnya
terdengar seperti seorang ibu yang menghadapi anak nakalnya. “Trus Tyo
sekarang mau apa?”
“Ya terus gimana dengan Yanti? Yanti
terima tidak cinta saya?” Gleg, lidahku kelu. Padahal biasanya
menggombal adalah keahlianku. Namun kali ini aku benar-benar kena
batunya!
“Tentu saja yanti terima cinta Tyo. Masak sih orang ngasih cinta mau ditolak.”
Aku sedikit keki, kenapa dia malah tertawa kecil begitu.
"Terus habis itu gimana?” Yanti bertanya lagi, masih dengan senyumnya yang lembut yang membuatku hampir tak bisa bicara.
"Yaa..
terus kita jadian. Kau… jadi pacarku, begitu…” jawabku ragu. Ingin
kutelan lagi kalimat yang baru saja meluncur dari mulutku. Mengingat aku
tahu karakter orang-orang seperti Yanti yang anti pacaran.
“Wah kenapa pacaran? Gimana kalau kita menikah saja?"
Degg…
aku hanya berdiri kaku. Menikah? Sebuah tantangan yang baru pertama
kali ini ku terima. Hari ini Si Buaya bener-bener KO! Aku tak habis
pikir. Selama karirku menjadi “buaya”, tak satupun gadis yang berani
menantangku menikah. Apalagi pada saat “ditembak”
“Berarti harus me..menikah ya..? wah, kalau begitu aku pikir-pikir dulu deh”
Pikir-pikir?
Jawaban yang tidak bermutu setelah pernyataan cinta yang
menggebu-gebu. Namun hanya itulah amunisi kata-kata yang kupunyai saat
itu. Sementara amunisi lain sudah lenyap karena kondisi yang diprediksi
tidak sesuai kenyataan.
***
Menikah! Aku
harus berani! Tak perduli apa kata orang, aku sudah jatuh cinta beneran
sama Yanti! Masa buaya takut ditantang menikah! Tapi kemudian aku
teringat cerita-cerita sumbang tentang pernikahan. Orang menikah akan
dibebani tanggung jawab. Harus setia. Harus punya pekerjaan. Harus ini.
Harus itu. Nanti kalau punya anak kan repot. Perlu biaya besar. Dan
segala macam problema rumah tangga yang pernah kudengar dari mereka
yang sudah berpengalaman menikah, menghantui pikiranku.
Dan yang jelas setelah menikah aku tidak akan bebas lagi!
Itulah
yang terlintas dipikiranku. Aku mulai ragu, apalagi sehari setelah
peristiwa itu Kristin mengajakku balikan. Aku semakin bingung dan kacau.
Di satu sisi jujur kuakui, aku sangat takut untuk menikah. Di sisi
lain aku benar-benar terobsesi pada Yanti. I'm truly, madly, depply, do love her.
Pusing…
aku mulai kalut dan kacau. Kuliah yang tinggal mengulang sering
kutinggalkan. Aku lebih sering membaca buku. Di kos, perpus, dan bahkan
toko buku. Temanya tentu saja tentang pernikahan. Namun buku-buku itu
hanya membuatku semakin pening. Ada yang bilang menikah saat kuliah itu
sangat mendukung perkembangan jiwa seseorang. Namun di buku lain
mengatakan bahwa menikah di usia muda hanya kan membawa perceraian dan
ketidak bahagiaan.
Akhirnya kuputuskan untuk berpikir
sendiri. Sepekan penuh aku berpikir keras. Bahkan laporan praktikum pun
harus menunggu. Kucoba menata satu-persatu masalah dan potensi yang akan kuhadapi dan aku punyai untuk menikah.
Masalah? Tentu saja, karena aku masih kuliah.
Orang
bilang kalau menikah saat kuliah akan berantakan salah satunya. Ah,
itu cuma kata orang. Yang lain juga bilang menikah di saat kuliah
justru akan membuat kita lebih dewasa. Kurasa masalah lain yang jauh
lebih besar adalah bahwa aku belum punya penghasilan. Kata orang kalau
menikah seorang laki-laki harus menafkahi istri dan keluarganya. Wah,
bagaimana mau menafkahi sementara aku belum bekerja. Tapi kurasa babeh
juga tidak keberatan untuk melipat duakan kiriman bulanan. Selain
beliau cukup berada untuk mensuplai dana buatku, beliau juga pernah
berkata bahwa jika kau menikah dan belum punya pekerjaan, beliau akan
membantu.
Setelah sekian waktu berpikir keras aku
menyerah. Kurasa otakku tak kan mampu untuk mengeksekusi sebuah
keputusan untuk menikah atau tidak. Di tengah keputusasaanku aku
teringat Udin. Kurasa dia bisa membantuku memecahkan masalah ini. Aku
selalu percaya anak-anak SKI dan alumninya punya kebijakan yang bisa
aku andalkan untuk memecahkan masalah-masalah rumit. Mereka punya
instuisi yang menakjubkan untuk menghadapi masalah yang berat
sekalipun. Aku minta pertimbangan pada Udin yang alim ini. Udin hanya
tertawa. “Shalat Istikharah saja. Minta petunjuk sama Alloh”.
***
Kuputuskan
untuk mengikuti saran Udin. Kuambil air wudhu dengan sempurna dan aku
shalat dengan khusuknya. Kurasa itu shalatku yang paling khusuk
sepanjang hidupku. Kupasrahkan segalanya pada-Nya. Jikalau Yanti yang
terbaik untukku maka kuatkanlah tekadku untuk menikah dengannya. Jikalau
bukan maka biarkanlah kami berdua menjadi sahabat yang sejati. Sebuah
do'a yang tak pernah keluar dari dalam hatiku sebelumnya. Namun do'a
ini kini amat kusyukuri. Mungkin ini salah astu do'a terbaik sepanjang
hidupku.
Esok pagi aku bangun dengan serah tekadku bulat. Alloh dan cintaku akan menguatkan kelemahanku!
Akan kupenuhi tantangan Yanti.
"Maukah kau menikah denganku?"
Kalimat itu terus terucap dihatiku. Kutelpon orang tuaku.. Dan mereka memberiku lampu hijau.
“Yang penting kamu lulus kuliah.”
Untungnya
orang tuaku permisif untuk urusan ini. Kebetulan keluarga orang tuaku
punya kultur menikah usia muda dan ini kusyukuri sampai saat ini. Tak
lupa beliau berdua mengucapkan selamat atas keberanianku untuk menikah.
Selama ini beliau berdua selalu mendesakku untuk segera menikah, tapi
aku selalu menjawab,” ntar kalau dah lulus.”
Kukirim SMS
kepada Yanti. Aku ingin bertemu dengannya di tempat yang sama di saat
dia menantangku. Di depan bangsal anak. Kubilang aku ingin menyampaikan
sesuatu pertanyaan penting.
Walaupun hatiku sudah mantap,
jantungku masih saja berdegup keras. Di hatiku masih berlintasan
berbagai pertanyaan. Bagaimana kalau dia menolak? Kalau setuju,
bagaimana nanti kesiapanku? Ah, kutepis semua pertanyaan itu. Kalaupun
dia menolak artinya Alloh belum menentukan dia sebagai jodohku. Tentang
bagaimana nanti, kupasrahkan pada Alloh semata. Entahlah aku menjadi
lebih religius setelah bertemu Yanti.
Kali ini aku tampil
sederhana, aku pasrah pada Alloh atas segalanya. Aku merasa ringan dan
bersih. Kaos lengan panjang hitam, celana cargo, dan sandal gunung.
Sangat berbeda dengan saat pertemuan sebelumnya. Aku ingin tampil apa
adanya, inilah aku, dengan segala kelebihan dan kekuranganku.
Dan
selasar di depan bangsal anak menjadi saksi. Dengan bergetar,
bismillah kukatakan,” Yanti maukah kau menikah denganku?” pertanyaan
yang terlalu lugas buat seekor buaya sepertiku. Namun saat itu hanya
itulah kata-kata yang kumiliki. Sebuah ungkapan terjujur yang pernah
aku ungkapkan pada gadis yang kucintai.
“Saya insya Alloh… bersedia… menjadi istri Tyo. Tapi syaratnya Tyo harus mau mengaji…”
Kali
ini jawaban Yanti sangat serius. Senyum yang biasanya menghiasi
wajahnya menghilang. Suaranya bergetar terbata-bata, seperti suaraku
saat mengucapkan pertanyaan berat itu dengan serak. Mata indahnya
berkaca-kaca.
Dunia seakan lepas dari kakiku. Semua beban lenyap
tak bersisa. Aku mau teriak pada seluruh dunia sebuah proklamasi ”Aku
cinta Yantiii…!!!!” Namun kesadarn masih bersamaku. Aku masih teringat
di mana aku berada. Ku ambil napas panjang. ”Alhamdulillah, ya aku mau
mengaji…”
Sore itu kutraktir Udin atas suksesnya lamaranku.
“wheii…masya Alloh. Selamat ya!” Udin menepuk bahuku dengan bangga dan bahagia.
“wah kalau begitu nanti pas walimahannya aku mau jadi EO-nya”
Tawaran
yang takkan kutolak. Setidaknya Udin menjdi mak comblangku. Hari ini
sekerat ayam goreng terasa sangat enak dimulutku. Mungkin yang terenak
sepanjang yang pernah kurasakan.
Pagi itu kuterima SMS dari Yanti.”ngajinya mulai nanti sore lho. Nanti dijemput Udin didepan parkiran RS jam 4 sore.”
Hah?
Ngaji sore-sore? Lagian bukannya ngaji bisa sambil nonton TV. Kayak
pengajiannya Aa Gym. Padahal sore ini aku ada latihan basket. Aku
bingung sesaat, namun demi cinta apapun kan kujalani… huii gombal!
Sore
itu kujemput Udin. Kami menuju tempat yang ditunjukkan Udin. Sebuah
rumah kos kecil di Pogung. Aku heran, tak ada tanda-tanda orang akan
pergi mengaji disitu.
“Mana pengajiannya, Din, kok sepi?” tanyaku ragu.
“Di dalam. Dah masuk saja.”
Ternyata
yang disebut pengajian oleh Yanti jauh berbeda dari yang kubayangkan.
Sebuah pertemuan kecil dengan salah satu orang menjadi pemateri. Dan
semuanya mahasiswa! Tak ada kyai yang kubayangkan mengisi pengajian ini.
Dan temanya pun sangat beragam dan berbeda dari pengajian yang biasa
aku kenal.
Aku mudah merasa include dengan
mereka meski semua itu asing bagiku. Dengan segala ke-alim-an,
keramahan,dan keterbukaan mereka membuatku yang masih beginner ini tidak
merasa tertinggal terlalu jauh. Tak ada kesan arogan dan merasa lebih
senior pada mereka. Walau jelas aku tidak ada apa-apanya dibanding
mereka.
Dan saat yang agung dalam hidupku itu pun tiba.
Setelah sebulan sejak aku melamar Yanti, kami menikah. Suasana yang
begitu sakral kurasakan. Setelah ikrar agung itu ku ucapkan dan Yanti
mencium tanganku pertama kalinya. Tak kuasa kutahan air mata haru dan
bahagiaku. Senyum photo genitku berantakan ketika Udin memfoto kami
berdua.
” Hoi jangan nangis, ini khan hari bahagia.” Udin terus saja menggoda kami
Ya
sejak saat itulah perjalanan hidup kami lalui bersama. Aku terus
berproses menjadi manusia sejati dengan dorongan dari Yanti yang tak
pernah terputus. Dialah co-ast dan trainerku. Banyak ilmu agama yang
belum kuketahui kudapat darinya. Tak perlu malu atau gengsi. Toh
kenyataanya aku memang harus banyak belajar. Walaupun dia juga sering
kutraining bagaimana merawat mesin motornya dengan baik.
Saat aku malas mengaji, dialah yang selalu mendorongku.
”Bu Dokter hari ini daku absen ngaji ya? Capek nih, habis nguber-uber dosen pembimbing…”
“Gak boleh darling calon S.T. gak boleh males ngaji. Inget janji dulu, hayo. Kalo gak ngaji gak ada yang mijitin nanti malam.”
Senyummu memang charge bagi semangatku yang mudah luntur ini.
Kau
juga yang selalu membuatku tak pernah kehabisan energi untuk
menyelesaikan tugas akhirku yang berat. Hingga wisudaku tak terasa sudah
di depan mata. Foto wisuda bersama istri yang dulu kuanggap khayal
terwujud juga. Wah senangnya!
***
“Eh kok malah senyum-senyum sendiri? Gak enak ya sopnya?” pelukan hangat istriku membuyarkan nostalgiaku.
“Emmm…
enak kok enaaaakkk sekali. Cuma lagi ngelamunin gimana tampang baby
kita kalau dah lahir nanti. Ganteng kayak babehnya ato cantik kayak
umminya.”
“Uuu…gombal!”
Seperti biasa kalau gemas, Yanti mencubitku. Aku hanya tertawa.
Sungguh
besar pahala bagi mereka yang rela menjadi jalan hidayah bagi orang
lain. Kutatap lagi Yanti, Ummu Sulaimku. Kekasihku, bidadariku dengan
sepenuh kasih. Sungguh BIDADARI TAK SECANTIK SENYUMMU…
=
==
===
======
catatan: dari note Nisa Al-Khansa' http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150092897890426
0 komentar