Posted by : sahdarullah
Minggu, 02 November 2014
Syariah Islam sebagai suatu syariah yang
dibawa oleh rasul terakhir, mempunyai keunikan tersendiri. Syariah ini bukan
saja menyeluruh atau komprehensif tetapi juga universal. Karakter istimewa ini
diperlukan sebab tidak akan ada syariah lain yang datang untuk
menyempurnakannya. Syariah Islam merangkum seluruh aspek kehidupan, baik ritual
(ibadah) maupun sosial (muamalah) dan dapat diterapkan dalam setiap
waktu dan tempat sampai hari akhir nanti.
Kebangkitan kembali nilai-nilai
fundamental telah melahirkan Islamisasi sektor finansial dengan fokus
bank bebas bunga (Free interest banking) atau secara luas
dikenal dengan bank Islam (Islamic Banking). Secara umum pengertian
Bank Islam (Islamic Banking) adalah bank yang pengoperasiannya
disesuaikan dengan prinsip syariah Islam.
Menurut Muhammad Budi Setiawan,
prinsip-prinsip Islam dalam muamalah yang harus diperhatikan oleh pelaku
investasi syariah (pihak terkait) adalah :
1. Tidak
mencari rizki pada hal yang haram, baik dari segi zatnya maupun cara
mendapatkannya, serta tidak menggunakannya untuk hal-hal yang haram.
2. Tidak mendzalimi
dan tidak didzalimi.
3. Keadilan
pendistribusian kemakmuran.
4. Transaksi dilakukan atas dasar ridha sama ridha.
5. Tidak ada
unsur riba, maysir (perjudian/spekulasi), dan gharar (ketidakjelasan/samar-samar).
Fungsi
bank syariah secara garis besar tidak berbeda dengan bank konvensional, yakni
sebagai lembaga intermediasi (intermediary institution) yang
mengerahkan dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana-dana tersebut
kepada masyarakat yang membutuhkannya dalam bentuk fasilitas pembiayaan.
Perbedaan pokoknya terletak dalam jenis
keuntungan yang diambil bank dari transaksi-transaksi yang dilakukannya. Bank Syariah
melakukan kegiatan usahanya tidak berdasarkan bunga (interest fee),
tetapi berdasarkan pada prinsip syariah yaitu prinsip pembagian keuntungan dan
kerugian (profit and loss sharing atau PLS).
Ide dasar adanya bank syariah ini adalah
upaya untuk menangkal sistem ribawi yang ada pada bank-bank konvensional
sebagaimana kita saksikan dewasa ini. Sebab dalam perspektif Islam terhadap
persoalan ini sudah jelas, yaitu Allah dengan jelas dan tegas mengharamkan riba.
Keinginan ini dilandasi oleh suatu kesadaran
untuk menerapkan Islam secara utuh dan total sebagaimana ditegaskan Allah SWT
dalam surah AL Baqarah ayat 208: Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke
dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan.
Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.
Ayat tersebut dengan jelas mengingatkan
bahwa selama kita menerapkan Islam secara parsial, kita akan mengalami
keterpurukan duniawi dan kerugian ukhrowi. Hal ini sangat jelas karena Islam
hanya diwujudkan dalam bentuk ritualisme ibadah.
Secara umum dapat dikatakan bahwa syariah
menghendaki kegiatan ekonomi yang halal, baik produk yang menjadi objek, cara
perolehannya, maupun cara penggunaannya. Selain itu, prinsip investasi syariah
juga harus dilakukan tanpa paksaan (ridha), adil dan transaksinya
berpijak pada kegiatan produksi dan jasa yang tidak dilarang oleh Islam,
termasuk bebas manipulasi dan spekulasi.
Secara kelembagaan yang merupakan Bank
Islam pertama adalah Myt-Ghamr Local Saving Bank. Didirikan di Mesir pada tahun
1963, dengan bantuan permodalan dari Raja Faisal Arab Saudi dan merupakan
binaan dari Prof. Dr. Abdul Aziz Ahmad El Nagar. Myt-Ghamr Bank dianggap
berhasil memadukan manajemen perbankan Jerman dengan prinsip muamalah Islam
dengan menerjemahkannya dalam produk-produk bank yang sesuai untuk daerah
pedesaan yang sebagian besar orientasinya adalah industri pertanian. Namun
karena persoalan politik, pada tahun 1967 Bank Islam Myt-Ghamr ditutup.
Kemudian pada tahun 1971 di Mesir berhasil didirikan kembali Bank Islam dengan
nama Nasser Social Bank, hanya tujuannya lebih bersifat sosial daripada
komersil.
Rintisan praktek perbankan Islam di
Indonesia sendiri dimulai pada awal periode 1980-an, melalui diskusi-diskusi
bertemakan bank Islam sebagai pilar ekonomi Islam. Tokoh-tokoh yang terlibat
dalam pengkajian tersebut, untuk menyebut beberapa, di antaranya adalah
Karnaen A Perwataatmadja, M Dawam Rahardjo, AM Saefuddin, dan M Amien Azis.
Akan tetapi prakarsa lebih khusus untuk mendirikan bank Islam di Indonesia baru
dilakukan pada tahun 1990, dengan dilaksanakannya Musyawarah Nasional IV
Majelis Ulama Indonesia dengan hasil pembentukan Tim Perbankan MUI. Dari hasil
pendekatan serta konsultasi yang dilakukan Tim Perbankan MUI tersebut kemudian
didirikan Bank Muamalat Indonesia pada tanggal 1 November 1991.
Para ulama telah merumuskan suatu kaidah
dalam syariat, yang disebut dengan dua hukum asal, yakni hukum asal ibadat dan
hukum asal muamalat. Hukum asal ibadat menyatakan bahwa segala sesuatunya
dilarang dikerjakan, kecuali yang ada petunjuknya dalam Qur an atau sunnah.
Karena itu, masalah-masalah ibadat sudah diatur rinci tata caranya, sehingga
tidak diperbolehkan lagi melakukan penambahan dan atau perubahan (bid ah).
Sedangkan hukum asal muamalat menyatakan bahwa segala sesuatunya diperbolehkan,
kecuali ada Asas larangan dalam Qur an atau sunnah. Jadi sesungguhnya terdapat
lapangan yang luas sekali dalam bidang muamalah. Yang perlu dilakukan hanyalah
mengidentifikasikan hal-hal yang dilarang (haram), kemudian menghindarinya.
Selain yang haram-haram tersebut, kita boleh melakukan apa saja, menambah,
menciptakan, mengembangkan, dan lain-lain, harus ada kreatifitas (baca:ijtihad)
yang dilakukan oleh ulama karena diperlukan perangkat ilmu-ilmu tertentu dalam ijtihad
dibidang muamalah. Kreatifitas inilah yang akan terus-menerus
mengakomodasi perubahan-perubahan dalam berbagai bidang yang terjadi di
masyarakat.
Sifat muamalah ini dimungkinkan karena
Islam mengenal hal yang diistilahkan sebagai tsawabit wa mutaghayiyirat (principles
and variables). Dalam sektor ekonomi, misalnya, yang merupakan prinsip
adalah larangan riba, sistem bagi hasil, pengambilan keuntungan, pengenaan
zakat, dan lain-lain. Adapun contoh variabel adalah instrumen-instrumen untuk
melaksanakan prinsipprinsip tersebut. Diantaranya adalah penerapan asas mudharabah
dalam investasiatau aplikasi prinsip jual beli dalam modal kerja.
Sebagaimana telah disampaikan di depan,
ide dasar pengembangan prinsip syariah pada perbankan didasari keinginan umat
muslim untuk menjadi muslim yang kaffah. Dengan benar-benar
menjalankan syariah Islam secara konsisten (istiqomah) dalam setiap
aspek kehidupannya, terlebih dengan hal-hal yang berkaitan dengan muamalah. Hal
ini tentunya didasarkan adanya doktrin dalam syariah islam yang mengatakan
bahwa bunga bank adalah haram karena termasuk riba. Sehinggga pengkajian
engenai riba sendiri dalam syariah dan mengapa bunga bank termasuk riba ketika
melakukan pembahasan mengenai perbankan syariah perlu dilakukan. Didalam
Al Qur an term riba dapat dipahami dalam delapan macam arti yaitu pertumbuhan (growing),
peningkatan (increasing), bertambah (swelling), meningkat (rising),
menjadi besar (being big), dan besar (great), dan juga
digunakan dalam pengertian bukit kecil (hillock), walaupun istilah
riba tampak dalam beberpa makna, namun dapat diambil satu pengertian umum
yaitu meningkat (increase) baik yang menyangkut kualitas maupun
kuantitas.
Melihat gagasannya yang ingin membebaskan
diri dari mekanisme bunga, pembentukan bank Islam mula-mula banyak menimbulkan
keraguan. Hal tersebut muncul mengingat anggapan bahwa sistem perbankan bebas
bunga adalah sesuatu yang mustahil dan tidak lazim, sehingga timbul pula
pertanyaan tentang bagaimana nantinya Bank Islam tersebut akan membiayai
operasinya.
Disinilah PLS masuk, menggantikan sistem
bunga dengan sistem profit and loss sharing (bagi untung dan rugi)
sebagai metode alokasi sumber daya.
Pada dasarnya dalam prinsip bagi hasil ada
empat akad utama yaitu al musyarakah, al mudharabah, al muzara ah dan al
musaqah. Tetapi yang diaplikasikan sementara ini masih terbatas pada
2 yaitu al musyarakah dan al mudharabah.
Al mudharabah adalah akad kerjasama antara dua pihak dimana
pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh modal, sedangkan
pihak lain (mudharib) menjadi pengelola, dimana keuntungan usaha
dibagi dalam bentuk prosentase (nisbah) sesuai kesepakatan, sedangkan
apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat
kelalaian si pengelola, apabila kerugian itu diakibatkan oleh kelalaian si
pengelola maka si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
Al-mudharabah dibedakan dalam mudharabah muthlaqah dan mudharabah
muqayyadah. Mudharabah muthlaqah adalah bentuk kerjasama
antara antara shahibul maal dan mudharib yang cakupannya
sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah
bisnis. Sedangkan mudharabah muqayyadah (restricted mudharabah /
specified mudharabah) mudharib dibatasi dengan batasan jenis usaha,
waktu dan tempat usaha.
Dasar Hukum Bank Bagi Hasil
Falsafah dasar bank bagi hasil atau
dalam hal ini perbankan syariah mengacu pada ajaran agama islam yang bersumber
pada Al-Qu’ran, Al-Hadis/As-Sunah, dan Al-Ijtihad. Al-Qur’an adalah kitab suci
agama islam, Kitab yang wajib dibaca dan dipelajari bagi umat islam, Al-Hadis
(As-Sunah) merupakan segala perkataan, perbuatan, atau tarir (Pengakuan
terhadap sesuatu dengan cara tidak pemberi komentar) yang dilakukan oleh Nabi
Muhammad. Al-Qiyas adlah suatu metode
untuk menemukan hukum suatu peristiwa yang tidak ada kejelasan hukumnya dalam
sumber hokum utama, yaitu Al-Qur’an dan Hadis dengan cara menghubungkan atau
menyamakan dengan hokum suatu peristiwa yang telah ditegaskan hukumnya dalam
sumber-sumber hokum tersebut karena adanya persamaan ‘Illiat (motif Hukum)
antara kedua hokum tersebut. Menurut istilah Fukuha , Al-Ijma
ialah kesepakatan pendapat diantara para Mujtahid, atau persetujuan pendapat
diantara ulama fikih di abad tertentu mengenai hukum syara.
Dengan
mengacu kepada petunjuk Al-Qur’an, QS al-Baqarah (2):275 dan surat An-nisa
(4):29 yang intinya: Allah SWT, telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba serta seruhan untuk menempuh jalan perniagaan dengan jalan suka- sama suka
maka setiap transaksi kelembagaan ekonomi islam harus dilandasi atas dasar
sistem bagi hasil dan perdagangan atau yang transaksinya didasari oleh adanya
pertukaran antara uang dan barang/jasa.
·
REGULASI
PERBANKAN DI INDONESIA
Ø PERIODE
UNDANG-UNDANG NO. 7 TAHUN 1992
Titik
terang untuk pendirian lembaga bank dengan system syariah sebenarnya telah
muncul sejak awal tahun 1990-an. Setelah adanya rekomendasi dari lokakarya
ulama tentang bunga bank dan perbangkan di Cisarua, Bogor tanggal 19-22 Agustus
1990, hasil lokakarya tersebut dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional
IV Majelis Ulama Indonesia (MUI). Berdasarkan amanat munas tersebut, maka
dibentuk kelompok kerjauntuk mendirikan bank Islam di Indonesia.
Bank
Muamalat Indonesia kemudian lahir sebagai kerja tim perbankan MUI tersebut.
Akta pendirian PT Bank Muamalat Indonesia ditandatangani pada tanggal 1
November 1991. Pada saat itu terkumpul komitmen pembelian saham sebanyak Rp 84
miliar. Pada tanggal 3 November 1991, pada acara silaturahmi presiden di istana
Bogor, dapat dipenuhi total komitmenmodal disetor awal sebesar Rp 106.126.382,-
dana tersebut berasal dari Presiden dan Wakil presiden, sepuluh Menteri Kabinet
Pembangunan V, juga Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila dan yayasan-yayasan
lainnya. Dengan terkumpulnya modal dasar tersebut, pada tanggal 1 Mei 1992,
Bank Muamalat Indonesia (BMI) mulai beroperasi.
Kemudian
diikuti dengan kemunculan Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang perbankan yang
memperkenankan Sistem Perbankan bagi Hasil. Dalam UU tersebut pada pasal 6 (m)
dan Pasal 13 (c) menyatakan, bahwa salah satu usaha Bank umum dan Bank
perkreditan rakyat (BPR) adalah menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan
prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan
Pemerintah (PP) No. 72 Tahun 1992 tentang bank berdasarkan prinsip bagi hasil
dan diundangkan pada tanggal 30 Oktober 1992 dalam lembaran Negara Republik
Indonesia No. 119 Tahun 1992.
Pada
intinya kedua pasal tersebut menerangkan, bahwa baik bank umum maupun BPR dapat
menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai
dengan ketentuan yang ditetapkan dalam PP tersebut. Arah yang akan ditempuh
harus jelas dalam undang-undang, bahwa mereka beroperasi berdasarkan system
bagi hasil.
KONSEP BANK
SYARIAH
· Prinsip perbankan syariah
Prinsip syariah adalah aturan perjanjian
berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana
dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan
syariah.
Beberapa prinsip/ hukum yang
dianut oleh sistem perbankan syariah antara lain :
Ø Pembayaran terhadap pinjaman dengan nilai
yang berbeda dari nilai pinjaman dengan nilai ditentukan sebelumnya tidak
diperbolehkan.
Ø Pemberi dana harus turut berbagi
keuntungan dan kerugian sebagai akibat hasil usaha institusi yang meminjam
dana.
Ø Islam tidak memperbolehkan
"menghasilkan uang dari uang". Uang hanya merupakan media pertukaran
dan bukan komoditas karena tidak memiliki nilai intrinsik.
Ø Unsur Gharar (ketidakpastian, spekulasi)
tidak diperkenankan. Kedua belah pihak harus mengetahui dengan baik hasil yang
akan mereka peroleh dari sebuah transaksi.
Ø Investasi hanya boleh diberikan pada
usaha-usaha yang tidak diharamkan dalam islam. Usaha minuman keras misalnya
tidak boleh didanai oleh perbankan syariah.
· PRODUK BANK BAGI HASIL
Beberapa produk jasa yang disediakan oleh bank berbasis syariah antara
lain:
Ø Jasa untuk peminjam dana
·
Al-Mudharabah
Secara teknis,
al-mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak,di mana pihak
pertama menyediakan seluruh (100 persen) modal, sedangkan pihak lain menjadi
pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang
dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi, ditanggung oleh pemilik modal
selama kerugian tersebut bukan akibat kelalaian di pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena
kecurangan atau kelalian si pengelola, maka pengelola harus bertanggung jawab
atas kerugian tersebut.
Pola transaksi mudharabah, biasanya
diterapkan pada produk-produk pembiayaan dan pendanaan. Pada sisi penghimpunan dana,
al-mudharabah diterapkan pada: tabungan dan deposito. Sedangkan pada sisi
pembiayaan, al-mudharabah, diterapkan untuk: pembiayaan modal kerja.
Dengan menempatkan dana dalam prinsip
al-mudharabah, pemilik dana tidak mendapatkan bunga seperti halnya di bank
konvensional, melainkan nisbah bagian keuntungan. Dalam praktiknya, nisbah
untuk tabungan berkisar 55-56 persen dari hasil investasi yang dilakukan oleh
bank. Dalam hal bank konvensional, angka tersebut kira-kira setara dengan 11-12
persen.
Sedangkan dalam sisi pembiayaan, bila seorang
pedagang membutuhkan modal untuk berdagang maka dapat mengajukan permohonan
untuk pembiayaan bagi hasil seperti al-mudharabah. Caranya dengan menghitung
terlebih dahulu perkiraan pendapatan yang akan diperoleh oleh nasabah dari
proyek tersebut. Misalkan, dari modal Rp.30 juta diperoleh pendapatan Rp.5
juta/bulan. Dari pendapatan tersebut harus disisihkan terlebih dahulu untuk
tabungan pengembalian modal, sebut saja Rp.2 juta. selebihnya dibagi antara
bank dengan nasabah dengan kesepakatan di muka, misalnya 60 persen untuk
nasabah dan 40 persen untuk bank.
- Al-Musyarokah (Joint Venture)
konsep ini diterapkan pada
model partnership atau joint venture. Keuntungan yang diraih akan dibagi dalam
rasio yang disepakati sementara kerugian akan dibagi berdasarkan rasio ekuitas
yang dimiliki masing-masing pihak. Perbedaan mendasar dengan mudharabah ialah dalam konsep ini ada campur
tangan pengelolaan manajemennya sedangkan mudharabah tidak ada campur tangan
Dalam sistem ini terjadi kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk
suatu usaha tertentu. Para pihak yang bekerja sama memberikan kontribusi modal.
Keuntungan ataupun risiko usaha tersebut akan ditanggung bersama sesuai dengan
kesepakatan.
Dalam sistem ini, terkandung apa yang biasa
disebut di bank konvensional sebagai sarana pembiayaan. Secara konkret, bila
Anda memiliki usaha dan ingin mendapatkan tambahan modal, Anda bisa menggunakan
produk al-musyarakah ini. Inti dari pola ini adalah, bank syariah dan Anda
secara bersama-sama memberikan kontribusi modal yang kemudian digunakan untuk
menjalankan usaha. Porsi bank syariah akan diberlakukan sebagai penyertaan
dengan pembagian keuntungan yang disepakati bersama. Dalam bank konvensional,
pembiayaan seperti ini mirip dengan kredit modal kerja.
- Al-Murobahah
Yakni
penyaluran dana dalam bentuk jual beli. Bank akan membelikan barang yang
dibutuhkan pengguna jasa kemudian menjualnya kembali ke pengguna jasa dengan
harga yang dinaikkan sesuai margin keuntungan yang ditetapkan bank, dan
pengguna jasa dapat mengangsur barang tersebut. Besarnya angsuran flat sesuai
akad diawal dan besarnya angsuran=harga pokok ditambah margin yang disepakati.
Contoh:harga rumah, 500 juta, margin bank/keuntungan bank 100 jt, maka yang
dibayar nasabah peminjam ialah 600 juta dan diangsur selama waktu yang
disepakati diawal antara Bank dan Nasabah.
Dalam skim ini, terjadi jual
beli suatu barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang nilainya
disepakati kedua belah pihak. Penjual dalam hal ini harus memberi tahu harga
produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahan.
Misalkan Anda membutuhkan kredit untuk pembelian mobil. Dalam bank konvensional
Anda akan dikenakan bunga dan Anda diharuskan membayar cicilan bulanan selama
waktu tertentu. Di sektor perbankan, suku bunga yang berlaku mungkin saja
berubah.
Dalam sistem bank syariah, tentu saja produk
seperti ini juga tersedia. Namun bentuknya bukan kredit, melainkan menggunakan
prinsip jual-beli, yang diistilahkan dengan Murabahah. Dalam hal ini, bank
syariah akan membeli mobil yang Anda inginkan terlebih dahulu, kemudian
menjualnya lagi kepada Anda. Tapi, karena bank syariah menalanginya dulu, maka
pada saat menjual kepada Anda, harganya sedikit lebih mahal, sebagai bentuk
keuntungan buat bank syariah. Karena bentuk keuntungan bank syariah sudah
disepakati di depan, maka nilai cicilan yang harus Anda bayarkan relatif lebih
tetap.
Tentunya masih banyak lagi prinsip-prinsip perbankan syariah, yang kami
uraikan di atas merupakan prinsip-prinsip dasar yang umum dikenal di perbankan
syariah.
Ø Jasa untuk penyimpan dana
- Wadi'ah (jasa penitipan)
Adalah
jasa penitipan dana dimana penitip dapat mengambil dana tersebut sewaktu-waktu.
Dengan sistem wadiah Bank tidak berkewajiban, namun diperbolehkan, untuk
memberikan bonus kepada nasabah.
Al-wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan
murni dari satu pihak ke pihak yang lain, baik individu maupun badan hukum,
yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendakinya.
Aplikasinya dalam produk perbankan, di mana
bank sebagai penerima simpanan dapat memanfaatkan prinsip ini yang dalam bank
konvensional dikenal dengan produk giro. Sebagai konsekuensi, semua keuntungan
yang dihasilkan dari dana titipan tersebut menjadi milik bank (demikian pula
sebaliknya). Sebagai imbalan, si penyimpan mendapat jaminan keamanan terhadap
hartanya, dan juga fasilitas-fasilitas giro lain.
Dalam dunia perbankan yang semakin
kompetitif, insentif atau bonus dapat diberikan dan hal ini menjadi kebijakan
dari bank bersangkutan. Hal ini dilakukan dalam upaya merangsang semangat
masyarakat dalam menabung dan sekaligus sebagai indikator kesehatan bank.
Pemberian bonus tidak dilarang dengan catatan tidak disyaratkan sebelumnya dan
jumlahnya tidak ditetapkan dalam nominal atau persentasi secara advance, tetapi
betul-betul merupakan kebijakan bank.
- Deposito Mudhorobah, nasabah menyimpan dana di Bank dalam kurun waktu yang tertentu. Keuntungan dari investasi terhadap dana nasabah yang dilakukan bank akan dibagikan antara bank dan nasabah dengan nisbah bagi hasil tertentu.
·
PERBEDAAN BANK SYARIAH DAN BANK KONVESIONAL
Sepintas bila dilihat secara
teknis, menabung di bank syariah dengan yang belaku di bank konvensional hampir
tidak ada perbedaan. Hal ini karena, baik di bank syariah maupun bank
konvensional diharuskan mengikuti aturan teknis perbankan secara umum. Akan
tetapi bila diamati lebih dalam, terdapat beberapa perbedaan mendasar di antara
keduanya.
Perbedaan pertama terletak
pada akadnya. Pada bank syariah, semua transaksi harus berdasarkan akad yang
dibenarkan oleh syariah. Dengan demikian, semua transaksi itu harus mengikuti
kaidah dan aturan yang berlaku pada akad-akad muamalah syariah. Pada bank
konvensional, transaksi pembukaan rekening, baik giro, tabungan maupun
deposito, berdasarkan perjanjian titipan, namun prinsip titipan ini tidak
sesuai dengan aturan syariah, misalnya wadi’ah, karena dalam produk giro,
tabungan maupun deposito, menjanjikan imbalan dengan tingkat bunga tetap
terhadap uang yang disetor.
Perbedaan kedua terdapat pada
imbalan yang diberikan. Bank konvensional menggunakan konsep biaya (cost
concept) untuk menghitung keuntungan. Artinya, bunga yang dijanjikan di muka
kepada nasabah penabung merupakan ongkos atau biaya yang harus dibayar oleh
bank. Oleh karena itu bank harus “menjual†kepada nasabah lain (peminjam)
dengan biaya bunga yang lebih tinggi. Perbedaan antara keduanya disebut spread
yang menandakan apakah perusahaan tersebut untung atau rugi. Bila spread-nya
positif, di mana beban bunga yang dibebankan kepada peminjam lebih tinggi dari
bunga yang diberikan kepada penabung, maka dapat dikatakan bahwa bank
mendapatkan keuntungan. Sebaliknya juga benar.
Sedangkan bank syariah
menggunakan pendekatan profit sharing, artinya dana yang diterima bank
disalurkan kepada pembiayaan. Keuntungan yang didapat dari pembiayaan tersebut
dibagi dua, untuk bank dan untuk nasabah, berdasarkan perjanjian pembagian
keuntungan di muka.
Perbedaan ketiga adalah
sasaran kredit/ pembiayaan. Para penabung di bank konvensional tidak sadar uang
yang ditabung dipinjamkan untuk berbagai bisnis, tanpa memandang halal-haram
bisnis tersebut.
Sedangkan di bank syariah,
penyaluran dan simpanan dari masyarakat dibatasi oleh prinsip dasar, yaitu
prinsip syariah Artinya bahwa pemberian pinjaman tidak boleh ke bisnis yang
haram seperti, perjudian, minuman yang diharamkan, pornografi dan bisnis lain
yang tidak sesuai dengan syariah.
·
KARAKTERISTIK BANK BAGI HASIL
- Falsafah
Perbedaan pokok antara bank konvensional dengan
bank syariah terletak pada landasan falsafah yang dianutnya. Bank syariah tidak
melaksanakan sistem bunga dalam seluruh aktivitasnya sedangkan bank kovensional
justru kebalikannya. Hal inilah yang menjadi perbedaan yang sangat mendalam
terhadap produk-produk yang dikembangkan oleh bank syariah, dimana untuk
menghindari sistem bunga maka sistem yang dikembangkan adalah jual beli serta
kemitraan yang dilaksanakan dalam bentuk bagi hasil. Dengan demikian sebenarnya
semua jenis transaksi perniagaan melalu bank syariah diperbolehkan asalkan
tidak mengandung unsur bunga (riba). Riba secara sederhana berarti sistem bunga
berbunga atau compound interest dalam semua prosesnya bisa mengakibatkan
membengkaknya kewajiban salah satu pihak seperti efek bola salju pada cerita di
awal artikel ini. Sangat menguntungkan saya tapi berakibat fatal untuk banknya.
Riba, sangat berpotensi untuk mengakibatkan keuntungan besar disuatu pihak
namun kerugian besar dipihak lain, atau malah ke dua-duanya.
- Konsep Pengelolaan Dana Nasabah
Dalam sistem bank syariah dana nasabah dikelola
dalam bentuk titipan maupun investasi. Cara titipan dan investasi jelas berbeda
dengan deposito pada bank konvensional dimana deposito merupakan upaya
mem-bungakan uang. Konsep dana titipan berarti kapan saja si nasabah
membutuhkan, maka bank syariah harus dapat memenuhinya, akibatnya dana titipan
menjadi sangat likuid. Likuiditas yang tinggi inilah membuat dana titipan
kurang memenuhi syarat suatu investasi yang membutuhkan pengendapan dana.
Karena pengendapan dananya tidak lama alias cuma titipan maka bank boleh saja
tidak memberikan imbal hasil. Sedangkan jika dana nasabah tersebut
diinvestasikan, maka karena konsep investasi adalah usaha yang menanggung
risiko, artinya setiap kesempatan untuk memperoleh keuntungan dari usaha yang
dilaksanakan, didalamnya terdapat pula risiko untuk menerima kerugian, maka
antara nasabah dan banknya sama-sama saling berbagi baik keuntungan maupun
risiko.
Sesuai dengan fungsi bank sebagai
intermediary yaitu lembaga keuangan penyalur dana nasabah penyimpan kepada
nasabah peminjam, dana nasabah yang terkumpul dengan cara titipan atau
investasi tadi kemudian, dimanfaatkan atau disalurkan ke dalam traksaksi
perniagaan yang diperbolehkan pada sistem syariah. Hasil keuntungan dari pemanfaatan
dana nasabah yang disalurkan ke dalam berbagai usaha itulah yang akan dibagikan
kepada nasabah. Hasil usaha semakin tingi maka semakin besar pula keuntungan
yang dibagikan bank kepada dan nasabahnya. Namun jika keuntungannya kecil
otomatis semakin kecil pula keuntungan yang dibagikan bank kepada nasabahnya.
Jadi konsep bagi hasil hanya bisa berjalan jika dana nasabah di bank di
investasikan terlebih dahulu kedalam usaha, barulah keuntungan usahanya
dibagikan. Berbeda dengan simpanan nasabah di bank konvensional, tidak peduli
apakah simpanan tersebut di salurkan ke dalam usaha atau tidak, bank tetap
wajib membayar bunganya.
Dengan demikian sistem bagi hasil membuat
besar kecilnya keuntungan yang diterima nasabah mengikuti besar kecilnya
keuntungan bank syariah. Semakin besar keuntungan bank syariah semakin besar
pula keuntungan nasabahnya. Berbeda dengan bank konvensional, keuntungan
banknya tidak dibagikan kepada nasabahnya. Tidak peduli berapapun jumlah
keuntungan bank konvesional, nasabah hanya dibayar sejumlah prosentase dari
dana yang disimpannya saja.
- Kewajiban Mengelola Zakat
Bank syariah diwajibkan menjadi pengelola zakat yaitu dalam arti wajib membayar zakat, menghimpun, mengadministrasikannya dan mendistribusikannya. Hal ini merupakan fungsi dan peran yang melekat pada bank syariah untuk memobilisasi dana-dana sosial (zakat. Infak, sedekah) - Struktur Organisasi
Di dalam struktur organisasi suatu bank syariah diharuskan adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS). DPS bertugas mengawasi segala aktifitas bank agar selalu sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. DPS ini dibawahi oleh Dewan Syariah Nasional (DSN). Berdasarkan laporan dari DPS pada masing-masing lembaga keuangan syariah, DSN dapat memberikan teguran jika lembaga yang bersangkutan menyimpang. DSN juga dapat mengajukan rekomendasi kepada lembaga yang memiliki otoritas seperti Bank Indonesia dan Departemen Keuangan untuk memberikan sangsi.
- Bagaimana Kita Menyimpan Uang Di Bank Syariah
Sebelumnya kita sudah sangat
mengenal tabungan, giro dan deposito dari bank konvensional. Pada ke tiga
produk bank ini maka setiap bulanya bank berjanji akan membayar sejumlah bunga.
Di bank syariah juga mempunyai produk simpanan berupa tabungan, giro dan
deposito hanya sebagai nasabah kita tidak menerima pembayaran bunga. Di bank
syarah ada 2 cara yang bisa dipilih orang untuk menyimpan uangnya,yaitu :
- Titipan / Wadiah
Menitip adalah memberikan kekuasaan kepada
orang lain untuk menjaga hartanya/ barangnya. Dengan demikian cara titipan
melibatkan adanya orang yang menitipkan (nasabah), pihak yang dititipi (bank
syariah), barang yang dititipkan (dana nasabah). Menitipkan sebenarnya bukan
usaha perniagaan yang lazim, kecuali penerima titipan menetapkan keharusan
membayar biaya penitipan atau administrasi bagi penitip. Maka Titipan bisa
memenuhi syarat perniagaan yang lazim. Artinya bank harus menjaga dan
bertanggung jawab terhadap barang yang dititipkan karena sudah dibayar biaya
administrasinya. Rekening giro di bank syariah dikelola dengan sistem titipan
sehingga biasa dikenal dengan Giro Wadiah, karena pada dasarnya rekening giro
adalah dana masyarakat di bank untuk tujuan pembayaran dan penarikannya dapat
dilakukan setiap saat. Artinya giro hanyalah merupakan dana titipan nasabah,
bukan dana yang diinvestasikan. Namun dana nasabah pada giro bisa dimanfaatkan
oleh bank selama masih mengendap, tetapi kapanpun nasabah ingin menariknya bank
wajib membayarnya. Sebagai imbalan dari titipan yang dimanfaatkan oleh bank
syariah, nasabah dapat menerima imbal jasa berupa bonus. Namun bonus ini tidak
diperjanjikan di depan melainkan tergantung dari kebijakan bank yang dikaitkan
dengan pendapatn bank. Rekening tabungan harian yang memberlakukan ketentuan
dapat ditarik setiap saat juga dikelola dengan cara titipan, karena sifatnya
mirip dengan giro hanya berbeda mekanisme penarikannya.
- Investasi / Mudharabah
adalah suatu bentuk perniagaan dimana
pemilik modal (nasabah) menyetorkan modalnya kepada pengelola (bank) untuk
diusahakan dengan keuntungan akan dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan dari
kedua belah pihak. Sedangkan kerugian, jika ada akan ditanggung oleh si pemilik
modal. Dengan demikian cara investasi melibatkan pemilik modal (nasabah),
pengelola modal (bank), modal (dana) harus jelas berapa jumlahnya, jangka waktu
pengelolaan modal, jenis pekerjaan atau proyek yang di biayai, porsi bagi hasil
keuntungan. Deposito di bank syariah dikelola dengan cara investasi atau
mudarobah, sehingga biasa dikenal dengan Deposito Mudharabah. Bank Syariah
tidak membayar bunga deposito kepada deposan tetapi membayar bagi hasil
keuntungan yang ditetapkan dengan nisbah. Beberapa jenis tabungan berjangka
juga dikelola dengan cara mudharobah misalnya tabungan pendidikan dan tabungan
hari tua, tabungan haji, tabungan berjangka ini biasa dikenal istilah Tabungan
Pendidikan Mudharabah, Tabungan Haji. Tabungan-tabungan tersebut tidak dapat
ditarik oleh pemilik dana sebelum jatuh tempo sehingga memenuhi syarat untuk
diinvestasikan
·
Bagaimana Nasabah Mendapat
Keuntungan
Jika bank
konvensional membayar bunga kepada nasabahnya, maka bank syariah membayar bagi
hasil keuntungan sesuai dengan kesepakatan. Kesepakatan bagi hasil ini
ditetapkan dengan suatu angka ratio bagi hasil atau nisbah. Nisbah antara bank
dengan nasabahnya ditentukan di awal, misalnya ditentukan porsi masing-masing
pihak 60:40, yang berarti atas hasil usaha yang diperolah akan didisitribusikan
sebesar 60% bagi nasabah dan 40% bagi bank. Angka nisbah ini dengan mudah Anda
dapatkan informasinya dengan bertanya ke customer service atau datang langsung
dan melihat papan display “ Perhitugan dan Distribusi Bagi Hasil” yang ada di
cabang bank syariah.
·
Apakah
Simpanan Nasabah di Bank Syariah Dijamin Pemerintah
Dalam hal jaminan pemerintak terhadap dana pihak ke tiga di bank, maka bank syariah mempunyai kedudukan yang sama sama dengan bank konvensional. Dana nasabah di bank syariah tetap dijamin pemerintah sesuai dengan ketentuan jaminan pemerintah bagi dana nasabah di bank.
Dalam hal jaminan pemerintak terhadap dana pihak ke tiga di bank, maka bank syariah mempunyai kedudukan yang sama sama dengan bank konvensional. Dana nasabah di bank syariah tetap dijamin pemerintah sesuai dengan ketentuan jaminan pemerintah bagi dana nasabah di bank.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar