Posted by : sahdarullah
Minggu, 16 November 2014
Segala puji bagi Allah Rabb semesta
alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan
orang-orang yang mengikuti beliau hingga akhir zaman.
Artikel berikut adalah artikel yang
merupakan kelanjutan dari artikel sebelumnya yang membahas tentang akal (Mendudukkan
Akal pada Tempatnya).
Akal Tidak
Bisa Berdiri Sendiri
Walaupun akal bisa digunakan untuk
merenungi dan memahami Al Qur’an, akal tidaklah bisa berdiri sendiri. Bahkan
akal sangat membutuhkan dalil syar’i (Al Qur’an dan Hadits) sebagai penerang
jalan. Akal itu ibarat mata. Mata memang memiliki potensi untuk melihat suatu
benda. Namun tanpa adanya cahaya, mata tidak dapat melihat apa-apa. Apabila ada
cahaya, barulah mata bisa melihat benda dengan jelas.
Jadi itulah akal. Akal barulah bisa
berfungsi jika ada cahaya Al Qur’an dan As Sunnah atau dalil syar’i. Jika tidak
ada cahaya wahyu, akal sangatlah mustahil melihat dan mengetahui sesuatu.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
mengatakan,
“Bahkan akal adalah syarat untuk mengilmui sesuatu dan untuk beramal dengan baik dan sempurna. Akal pun akan menyempurnakan ilmu dan amal. Akan tetapi, akal tidaklah bisa berdiri sendiri. Akal bisa berfungsi jika dia memiliki instink dan kekuatan sebagaimana penglihatan mata bisa berfungsi jika ada cahaya. Apabila akal mendapati cahaya iman dan Al Qur’an barulah akal akan seperti mata yang mendapatkan cahaya mentari. Jika bersendirian tanpa cahaya, akal tidak akan bisa melihat atau mengetahui sesuatu.” (Majmu’ Al Fatawa, 3/338-339)
Intinya, akal bisa berjalan dan berfungsi jika ditunjuki oleh dalil syar’i yaitu dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah. Tanpa cahaya ini, akal tidak akan berfungsi sebagaimana mestinya.
“Bahkan akal adalah syarat untuk mengilmui sesuatu dan untuk beramal dengan baik dan sempurna. Akal pun akan menyempurnakan ilmu dan amal. Akan tetapi, akal tidaklah bisa berdiri sendiri. Akal bisa berfungsi jika dia memiliki instink dan kekuatan sebagaimana penglihatan mata bisa berfungsi jika ada cahaya. Apabila akal mendapati cahaya iman dan Al Qur’an barulah akal akan seperti mata yang mendapatkan cahaya mentari. Jika bersendirian tanpa cahaya, akal tidak akan bisa melihat atau mengetahui sesuatu.” (Majmu’ Al Fatawa, 3/338-339)
Intinya, akal bisa berjalan dan berfungsi jika ditunjuki oleh dalil syar’i yaitu dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah. Tanpa cahaya ini, akal tidak akan berfungsi sebagaimana mestinya.
Ketika
Akal dan Dalil Syar’i Bertentangan
Jika kita sudah mengetahui bahwa
akal tidaklah bisa berfungsi kecuali dengan adanya penerang dari Al Qur’an dan
As Sunnah, maka tentu saja akal yang benar tidaklah mungkin bertentangan dengan
dalil syar’i. Jika bertentangan, maka akal yang patut ditanyakan dan dalil
syar’i lah yang patut dimenangkan. Kami dapat memberikan deskripsi tentang
akal dan dalil syar’i sebagai berikut.
Ada orang awam ingin bertanya suatu hal pada seorang ulama. Akhirnya dia dibantu oleh Ahmad. Ahmad pun menunjukkan orang awam tadi pada ulama tersebut. Dalam suatu masalah, Ahmad menyelisihi pendapat ulama tadi. Lalu Ahmad mengatakan pada orang awam tadi, “Aku yang telah menunjuki engkau pada ulama tersebut, seharusnya engkau mengambil pendapatku bukan pendapat ulama tadi.” Tentu saja orang awam tadi akan mengatakan, “Engkau memang yang telah menunjukiku pada ulama tadi. Engkau menyuruhku untuk mengikuti ulama tadi, namun bukan untuk mengikuti pendapatmu. Jika aku mengikuti petunjukmu bahwa ulama tadi adalah tempat untuk bertanya, hal ini bukan berarti aku harus mencocokimu dalam setiap yang engkau katakan. Jika engkau keliru dan menyelisihi ulama tadi padahal dia lebih berilmu darimu, maka kekeliruanmu pada saat ini tidaklah membuat cacat tentang keilmuanmu bahwa dia adalah ulama.”
Ada orang awam ingin bertanya suatu hal pada seorang ulama. Akhirnya dia dibantu oleh Ahmad. Ahmad pun menunjukkan orang awam tadi pada ulama tersebut. Dalam suatu masalah, Ahmad menyelisihi pendapat ulama tadi. Lalu Ahmad mengatakan pada orang awam tadi, “Aku yang telah menunjuki engkau pada ulama tersebut, seharusnya engkau mengambil pendapatku bukan pendapat ulama tadi.” Tentu saja orang awam tadi akan mengatakan, “Engkau memang yang telah menunjukiku pada ulama tadi. Engkau menyuruhku untuk mengikuti ulama tadi, namun bukan untuk mengikuti pendapatmu. Jika aku mengikuti petunjukmu bahwa ulama tadi adalah tempat untuk bertanya, hal ini bukan berarti aku harus mencocokimu dalam setiap yang engkau katakan. Jika engkau keliru dan menyelisihi ulama tadi padahal dia lebih berilmu darimu, maka kekeliruanmu pada saat ini tidaklah membuat cacat tentang keilmuanmu bahwa dia adalah ulama.”
Ini adalah permisalan dengan seorang
ulama yang mungkin saja salah. Lalu bagaimanakah jika pada posisi ulama
tersebut adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak mungkin
keliru dalam penyampaian berita dari Allah?
Dari deskripsi ini, akal dimisalkan
dengan si Ahmad yang jadi petunjuk kepada ulama tadi. Sedangkan ulama tersebut
adalah permisalan dari dalil syar’i. Inilah sikap yang harus kita miliki
tatkala kita menemukan bahwa akal ternyata bertentangan dengan dalil syar’i.
Sikap yang benar ketika itu adalah seseorang mendahulukan dalil syar’i daripada
logika. Sebagaimana kita mendahulukan ulama tadi dari si Ahmad sebagai petunjuk
jalan. Jika dalil syar’i bertentangan dengan akal, maka dalil lah yang harus didahulukan.
Namun hal ini tidak membuat akal itu cacat karena dia telah menunjuki kepada
dalil syar’i.
Inilah yang diyakini oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yaitu jika akal bertentangan dengan dalil Al Qur’an dan As Sunnah, maka dalil syar’i lebih harus kita dahulukan dari akal.
Inilah yang diyakini oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yaitu jika akal bertentangan dengan dalil Al Qur’an dan As Sunnah, maka dalil syar’i lebih harus kita dahulukan dari akal.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
mengatakan,
“Jika seseorang mengetahui dengan akalnya bahwa ini adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian ada berita dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun ternyata berita tersebut menyelisihi akal. Pada saat ini, akal harus pasrah dan patuh. Akal harus menyelesaikan perselisihan ini dengan menyerahkan pada orang yang lebih tahu darinya yaitu dari berita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada saat ini, akal tidaklah boleh mendahulukan hasil pemikirannya dari berita Rasul. Karena sebagaimana diketahui bahwa akal manusia itu memiliki kekurangan dibandingan dengan berita Rasul. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu saja lebih mengerti mengenai Allah Ta’ala, nama dan sifat-sifat-Nya, serta lebih mengetahui tentang berita hari akhir daripada akal.” (Dar-ut Ta’arudh, 1/80)
“Jika seseorang mengetahui dengan akalnya bahwa ini adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian ada berita dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun ternyata berita tersebut menyelisihi akal. Pada saat ini, akal harus pasrah dan patuh. Akal harus menyelesaikan perselisihan ini dengan menyerahkan pada orang yang lebih tahu darinya yaitu dari berita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada saat ini, akal tidaklah boleh mendahulukan hasil pemikirannya dari berita Rasul. Karena sebagaimana diketahui bahwa akal manusia itu memiliki kekurangan dibandingan dengan berita Rasul. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu saja lebih mengerti mengenai Allah Ta’ala, nama dan sifat-sifat-Nya, serta lebih mengetahui tentang berita hari akhir daripada akal.” (Dar-ut Ta’arudh, 1/80)
Akal Tidak
Mungkin Bertentangan dengan Dalil Al Qur’an dan As Sunnah
Inilah yang diyakini oleh Ahlus
Sunnah wal Jama’ah yaitu dalil akal tidaklah mungkin bertentangan dengan dalil
Al Qur’an dan As Sunnah yang shahih sama sekali. Maka tidaklah tepat jika
seseorang mengatakan bahwa logika (dalil akal) bertentangan dengan dalil
syar’i. Jika ada yang menyatakan demikian, maka hal ini tidaklah lepas
dari beberapa kemungkinan:
[Pertama] Itu sebenarnya syubhat (kerancuan)
dan bukan logika (dalil akal) yang benar.
[Kedua] Dalil syar’i yang digunakan bukanlah
dalil yang bisa diterima, mungkin karena dalilnya yang tidak shahih atau adanya
salah pemahaman.
[Ketiga] Hal ini karena tidak mampu
membedakan antara sesuatu yang mustahil bagi akal dan sesuatu yang tidak
dipahami oleh akal dengan sempurna. Syari’at itu datang minimal dengan dalil
yang tidak dipahami oleh akal secara sempurna. Dan Syari’at ini tidak mungkin
datang dengan dalil yang dianggap mustahil bagi akal.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
وَالرُّسُلُ جَاءَتْ بِمَا
يَعْجِزُ الْعَقْلُ عَنْ
دَرْكِهِ . لَمْ تَأْتِ
بِمَا يُعْلَمُ بِالْعَقْلِ
امْتِنَاعُهُ
“Rasul itu datang dengan wahyu
minimal tidak digapai oleh akal dengan sempurna. Namun beliau tidaklah datang
dengan wahyu yang mustahil bagi akal untuk memahaminya.” (Majmu’ Al
Fatawa, 3/339). Semoga kita dapat memahami hal ini.
Sikap
Ekstrim dan Pertengahan dalam Mendudukkan Akal
Ada dua sikap ekstrim dalam
mendudukkan akal.
Sikap
pertama: Yang menjadikan akal sebagai
satu-satunya landasan ilmu sedangkan dalil Al Qur’an atau dalil syar’i hanya
sekedar taabi’ (pengikut). Akal pun dianggap sebagai sumber pertama dan
dianggap akal tidak butuh pada iman dan Al Qur’an. Inilah sikap yang dimiliki
oleh Ahlul Kalam.
Sikap
kedua: Yang sangat mencela dan
menjelek-jelekan akal, juga menyelisihi dalil logika yang jelas-jelas tegasnya,
serta mencela dalil logika secara mutlak. Inilah sikap dari kaum Sufiyah. (Majmu’
Al Fatawa, 3/338)
Sikap yang benar dan pertengahan
adalah sikap yang menjadikan akal sebagai berikut:
- Akal adalah petunjuk untuk mengetahui dalil syar’i (dalil Al Qur’an dan As Sunnah)
- Akal tidak bisa berdiri sendiri namun butuh pada cahaya dalil syar’i. Tanpa adanya cahaya dalil Al Qur’an dan As Sunnah, akal tidaklah mungkin bisa memandang atau memahami suatu perkara dengan benar.
- Jika akal bertentangan dengan dalil syar’i, maka dalil syar’i yang harus didahulukan karena akal hanya sekedar petunjuk untuk mengetahui dalil sedangkan dalil syar’i memiliki ilmu dan pemahaman yang lebih dibanding akal.
- Akal (logika) yang benar tidaklah mungkin bertentangan dengan dalil Al Qur’an dan As Sunnah.
- Akal yang tercela adalah akal yang bertentangan dengan dalil Al Qur’an dan As Sunnah.
Mendudukkan
Akal dalam Beberapa Kasus
Di antara penggunaan akal yang
keliru adalah penggunaannya dalam memikirkan perkara-perkara ghaib seperti
memikirkan sifat-sifat Allah dan keadaan hari kiamat.
[Contoh
pertama]
Hadits tentang nuzul yaitu
turunnya Allah ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ
وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ
إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا
حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ
اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ
مَنْ يَدْعُونِى فَأَسْتَجِيبَ
لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِى
فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِى
فَأَغْفِرَ لَهُ
“Rabb kita tabaroka wa ta’ala
setiap malamnya turun ke langit dunia hingga tersisa sepertiga malam terakhir.
Rabb mengatakan, “Barangsiapa yang berdo’a kepadaKu, maka akan Aku kabulkan.
Barangsiapa meminta padaKu, maka akan Aku berikan. Barangsiapa meminta ampun
padaKu, Aku akan mengampuninya”.” (HR. Bukhari no. 1145 dan Muslim no. 758)
Sebagian orang menanyakan,
“Bagaimana mungkin Allah turun ke langit dunia? Ini berarti ‘Arsy-Nya kosong. ”
Atau mungkin ada yang menyatakan, “Kalau begitu Allah akan terus turun ke
langit dunia karena jika di daerah A adalah sepertiga malam terakhir, bagian
bumi yang lain beberapa saat akan mengalami sepertiga malam juga. Ini akan
berlangsung terus menerus.”
Inilah akal-akalan yang muncul dari
sebagian orang. Jawabannya sebenarnya cukup mudah. Ingatlah dalam masalah ini,
kita harus bersikap pasrah, tunduk dan menerima dalil. Tugas Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam hanyalah menyampaikan wahyu, sedangkan tugas kita adalah
menerima secara lahir dan batin. Kalau kita tidak memahami hal ini, itu mungkin
saja logika atau akal kita yang tidak memahaminya dengan sempurna. Jadi, sama
sekali logika kita tidak bertentangan dengan dalil tersebut. Hanya saja kita
kurang sempurna dalam memahaminya.
Lalu jika ada yang mengemukakan kerancuan di atas, cukup kita katakan, “Hal semacam ini tidaklah pernah dijelaskan oleh Allah dan Rasul-Nya. Begitu pula para sahabat radhiyallahu ‘anhum tidak pernah mendapatkan tafsiran mengenai hal ini. Jadi, dalam masalah menanyakan hakikat (kaifiyah) turunnya Allah, kita hendaknya stop dan tidak angkat bicara. Kita meyakini dan memahami adanya sifat nuzul (turunnya Allah ke langit dunia), namun mengenai hakikatnya kita katakan wallahu a’lam (Allah yang lebih mengetahui).”
Jadi pertanyaan semacam di atas tidak pernah dicontohkan oleh para sahabat, sehingga dalam hal ini kita seharusnya tidak menanyakannya pula.
Mungkin yang kita bayangkan tadi: “Bagaimana Allah bisa turun ke langit dunia? Berarti ‘Arsy-Nya kosong”; yang kita bayangkan sebenarnya adalah keadaan yang ada pada makhluk. Dan ingatlah bahwa Allah itu jauh berbeda dengan keadaan makhluk, janganlah kita samakan. Allah Ta’ala berfirman,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang
serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS.
Asy Syuraa: 11). Jika sesuatu tidak mungkin terjadi pada makhluk, maka ini
belum tentu tidak bisa terjadi pada Allah yang Maha Besar.
[Contoh
kedua]
Disebutkan dalam suatu hadits bahwa
pada hari kiamat nanti posisi matahari akan begitu dekat dengan manusia.
Dari Al Miqdad bin Al Aswad, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Dari Al Miqdad bin Al Aswad, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تُدْنَى الشَّمْسُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ مِنَ الْخَلْقِ
حَتَّى تَكُونَ مِنْهُمْ
كَمِقْدَارِ مِيلٍ
“Matahari akan didekatkan pada
makhluk pada hari kiamat nanti hingga mencapai jarak sekitar satu mil.”
Sulaiman bin ‘Amir, salah seorang perowi hadits ini mengatakan bahwa dia belum
jelas mengenai apa yang dimaksud dengan satu mil di sini. Boleh jadi satu mil
tersebut adalah seperti jarak satu mil di dunia dan boleh jadi jaraknya adalah
satu celak mata. (HR. Muslim no. 7385)
Jadi, intinya matahari ketika itu
akan didekatkan dengan jarak yang begitu dekat.
Ada mungkin yang mengatakan, “Saat ini jika matahari didekatkan ke bumi dengan jarak satu mil –padahal suhu matahari begitu tinggi (suhu permukaannya sekitar 6000oC)-, tentu saja bumi akan hangus terbakar. Lalu apa yang terjadi jika matahari didekatkan ke kepala dengan jarak yang begitu dekatnya?!”
Ada mungkin yang mengatakan, “Saat ini jika matahari didekatkan ke bumi dengan jarak satu mil –padahal suhu matahari begitu tinggi (suhu permukaannya sekitar 6000oC)-, tentu saja bumi akan hangus terbakar. Lalu apa yang terjadi jika matahari didekatkan ke kepala dengan jarak yang begitu dekatnya?!”
Dalam hadits riwayat muslim di atas,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan,
فَيَكُونُ النَّاسُ عَلَى
قَدْرِ أَعْمَالِهِمْ فِى
الْعَرَقِ فَمِنْهُمْ مَنْ
يَكُونُ إِلَى كَعْبَيْهِ
وَمِنْهُمْ مَنْ يَكُونُ
إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَمِنْهُمْ
مَنْ يَكُونُ إِلَى
حَقْوَيْهِ وَمِنْهُمْ مَنْ
يُلْجِمُهُ الْعَرَقُ إِلْجَامًا
“Keringat manusia ketika itu
sesuai dengan kondisi amalannya. Ada di antara mereka yang keringatnya sampai
di mata kaki. Ada pula yang keringatnya sampai di paha. Ada yang lain sampai di
pinggang. Bahkan ada yang tenggelam dengan keringatnya.”
Jika kita memperhatikan, hadits ini
terasa bertentangan dengan logika kita. Namun sebenarnya dapat kita katakan,
“Kekuatan manusia ketika hari kiamat berbeda dengan kekuatannya ketika sekarang
di dunia. Namun manusia ketika hari kiamat memiliki kekuatann yang luar biasa.
Mungkin saja jika manusia saat ini berdiam selama 50 hari di bawah terik
matahari, tanpa adanya naungan, tanpa makan dan minum, pasti dia akan mati.
Akan tetapi, sangat jauh berbeda dengan keadaan di dunia. Bahkan di hari
kiamat, mereka akan berdiam selama 50 ribu tahun, tanpa ada naungan, tanpa
makan dan minuman.” (Syarh Al ‘Aqidah Al Wasithiyah, hal. 370)
Intinya, logika kita tidaklah
mungkin bertentangan dengan akal. Jika bertentangan, maka logika kitalah yang
patut dipertanyakan.
Demikian beberapa penjelasan dari
kami mengenai cara mendudukkan akal. Semoga Allah selalu memberi taufik dan
hidayah kepada kita untuk memahami ajaran Al Qur’an dan As Sunnah, juga semoga
kita dapat mendudukkan akal sesuai tempatnya.
Alhamdulillahilladzi
bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Allahumma sholli ‘ala Nabiyyina Muhammad wa
‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Rujukan:
Dar-ut
Ta’aarudh Al ‘Aqli wan Naqli, Ahmad
bin Abdul Halim Al Haroni, Darul Kanuz Al Adabiyah Riyadh
Ma’alim Ushul Fiqh ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, Muhammad bin Husain bin Hasan Al Jaizaniy, Dar Ibnul Jauziy
Majmu’ Al Fatawa, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni, Darul Wafa’
Shahih Al Bukhari, Muhammad bin Isma’il Al Bukhari, Mawqi’ Wizarotil Awqof
Syarh Al ‘Aqidah Al Wasithiyah, Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin, Daarul ‘Aqidah
Zaadul Muhajir – Ar Risalah At Tabukiyah, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Darul Hadits
Ma’alim Ushul Fiqh ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, Muhammad bin Husain bin Hasan Al Jaizaniy, Dar Ibnul Jauziy
Majmu’ Al Fatawa, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni, Darul Wafa’
Shahih Al Bukhari, Muhammad bin Isma’il Al Bukhari, Mawqi’ Wizarotil Awqof
Syarh Al ‘Aqidah Al Wasithiyah, Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin, Daarul ‘Aqidah
Zaadul Muhajir – Ar Risalah At Tabukiyah, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Darul Hadits
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel diambil dari Rumaysho.com
Selesai disusun di Panggang, Gunung
Kidul, 4 Rajab 1430 H
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar