Posted by : sahdarullah
Sabtu, 05 September 2015
Oleh: AM Hasan Ali, MA
Fenomena
perbankan syariah di Indonesia dan lembaga keuangan syariah lain-nya telah mengantarkan pemahaman
terhadap umat Islam Indonesia adanya kelembaga-an ekonomi dalam Islam. Sebelum
dikenal perbankan syariah secara kelembagaan, pengetahuan tentang masalah ini
masih berbentuk kajian teoritis tentang kemungkinan implementasi ekonomi Islam
dalam wujud lembaga keuangan. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana model
kelembagaan ekonomi Islam? Dalam wujud apa kelembagaan ekonomi Islam itu? Dan
masih banyak deretan pertanyaan yang berkaitan dengan lembaga keuangan syariah
yang intinya mempertanyakan apakah dimungkinkan ekonomi Islam itu terlembagakan
dalam sebuah institusi keuangan modern, semacam perbankan ataupun lembaga
keuangan lainnya?
Jawabannya adalah
bisa dan dimungkinkan, walupun realitanya kita dituntut melalui jalan proses
islamisasi dari berbagai lembaga keuangan modern yang notabene-nya merupakan
hasil temuan dari kaum kapitalis-Barat dan kendaraan bagi mereka untuk
mensukseskan cita-cita mewujudkan imperium perekonomian global. Pilihan
islamisasi merupakan pilihan yang mengandung "pil pahit" karena kita
dianggap sudah tidak dapat menemukan lembaga keuangaan syariah yang betul-betul
genuine bersumber dari al-Qur'an maupun as-Sunnah. Akibatnya, kita
sedikit banyak akan mengekor dengan model lembaga keuangan yang ditawarkan oleh
kaum kapitalis-Barat, bahkan terkesan adanya mencari celah (hela) untuk
tidak terperosok pada kondisi yang dianggap tidak sesuai dengan syariah Islam.
Sebagai contohnya adalah beberapa produk perbankan syariah yang disinyalir
tidak jauh berbeda dengan produk yang ada di perbankan konvensional. Seperti, murabahah
yang diselipi akad wakalah menyerupai pinjaman kredit yang terjadi pada
bank berbasis bunga. Lain dari itu, model bagi hasil yang mengacu pada prinsip revenue
sharing telah meniscayakan
kebersamaan dalam menanggung kerugian antar pihak yang melakukan kerjasama
karena kerugian investasi hanya ditanggung oleh pihak mudharib dan tidak
dibagi secara adil dengan pihak pemodal (shahib al-mal).
Dalam beberapa hal
munculnya lembaga keuangan syariah di Indonesia semacam perbankan syariah
mempunyai arti yang penting bagi perkembangan ekonomi Islam di masa mendatang.
Munculnya lembaga keuangan syariah di Indonesia saat ini merupakan fase booming-nya
ekonomi Islam secara kelembagaan. Banyak sekali perbankan syariah, asuransi
syariah dan lembaga keuangan yang mengusung nama syariah bermunculan seperti
jamur di musim hujan. Bahkan, ada asumsi kalau tidak ikut mendirikan lembaga
keuangan syariah atau paling tidak dengan cara membuka unit usaha syariah
dianggap tidak mengikuti trend masa ini
dan nantinya akan ditinggal oleh umat Islam serta belum diakui keislamannya
dalam berekonomi.
Tetapi, yang perlu
diperhatikan adalah kesadaran kita akan suatu pemahaman bahwa ekonomi Islam
bukan hanya dimonopoli oleh dunia perbankan syariah atau lembaga keuangan
syariah lainnya. Hal ini dikarenakan paradigma masyarakat sementara ini masih
menganggap bahwa kalau bicara tentang ekonomi Islam orientasinya langsung
tertuju pada eksistensi lembaga keuangan syariah yang termanifestasikan dalam
wujud perbankan syariah ataupun asuransi syariah. Intinya, ekonomi Islam itu
adalah perbankan syariah dan asuransi syariah. Paradigma yang tidak
keseluruhannya salah, tetapi ada yang perlu diluruskan di dalamnya. Bahwa ekonomi
Islam itu tidak hanya perbankan syariah dan asuransi syariah. Sebaliknya,
perbankan syariah dan asuransi syariah merupakan serpihan kecil dari ekonomi
Islam yang terlembagakan dalam institusi keuangan syariah.
Lebih luas lagi,
pemahaman mengenai ekonomi Islam merupakan penjabaran dari ajaran Islam itu
sendiri yang bersumber dari al-Qur'an dan as-Sunnah. Banyak ayat al-Qur'an dan
as-Sunnah yang telah memberikan panduan kepada kita untuk melakukan kegiatan
ekonomi. Pada tataran mikro, kegiatan ekonomi Islam juga dapat diterapkan pada
kehidupan rumah tangga. Prinsip-prinsip dasar dalam ekonomi Islam menjadi
landasan dalam membangun kehidupan berumah tangga dan dalam rangka memenuhi
kebutuhan hidup keluarga. Ajaran tentang hidup sederhana dan tidak
berlebih-lebihan serta berlaku tidak boros merupakan bagian kecil dari ajaran
Islam yang bermuatan ekonomi. Di sisi yang lain, prinsip hidup yang memberikan
pedoman tentang ajaran "berpuasa itu lebih baik dari pada berhutang"
adalah cerminan dari nilai ekonomi Islam.
Pada gambaran di
atas keduanya dapat saling melengkapi. Pertama, implementasi ekonomi
Islam dalam tataran makro-kelembagaan dengan model perbankan syariah dan
lembaga keuangan syariah lainnya sebagai acuan pelaksanaan. Kedua,
pelaksanaan ekonomi Islam dalam tataran mikro-keluarga dengan cara penundukkan
pada nilai-nilai ekonomi yang terkandung dalam al-Qur'an maupun as-Sunnah untuk
diimplementasikan dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat. Jika keduanya berjalan
bersamaan berarti cakupan pada skala mikro dan makro sudah dapat diwujudkan
dalam imple-mentasi secara riil. Masalahnya sekarang adalah mengukur seberapa
besar tingkat keterlibatan umat Islam dalam melaksanakan nilai-nilai ekonomi
Islam yang terkandung dalam al-Qur'an dan as-Sunnah baik dalam tataran mikro-keluarga
atau makro-kelem-bagaan. Sebuah pekerjaan yang besar dan proyek yang menantang
jika diadakan penelitian secara serius tentang hal tersebut. Saat ini, belum
ada gambaran yang jelas tentang "peta" keterlibatan umat Islam
Indonesia dalam menjalankan syariah Islam yang bermuara pada perilaku ekonomi.
Realita di masyarakat kita, umat Islam
Indonesia sudah memberikan perhatian yang serius terhadap konsistensi
melaksanakan ajaran Islam walau masih belum sempurna. Khusus dalam masalah
ekonomi, praktek kehidupan yang sederhana dan tidak berlebihan sudah menjadi
pemandangan yang khas dalam kehidupan masyarakat Indonesia, terutama di
pedesaan. Mereka mencukupi kehidupannya dengan kekayaan alam yang ada di
lingkungan sekitar. Tidak berlebihan jika mereka terlihat sebagai satuan
keluarga yang hidup dalam kebersahajaan dan merasa tenang dengan kehidupan yang
dijalaninya bersama masyarakat lainnya. Suasana kehidupan seperti ini dibangun
atas dasar kesadaran untuk selalu mencari ridha dari Allah Swt. dan selalu
diorientasikan untuk mengejar karunia yang sebelumnya sudah dipersiapkan oleh
Allah Swt. bagi kehidupan manusia di alam dunia ini. Potret kehidupan seperti
di atas merupakan salah satu serpihan dari pelaksanaan ajaran ekonomi Islam
yang sudah terlembagakan dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat.
Di sisi yang lain, nilai moral yang
berisikan ajaran untuk "berpuasa dari pada berhutang" merupakan
serpihan lain dari perilaku dalam melaksanakan ajaran ekonomi Islam yang
mempunyai arti penting terhadap pemenuhan kebutuhan kehidupan berkeluarga,
bermasyarakat dan bernegara. Ajaran moral ini sangat simpel dan sederhana tetapi
mempunyai implikasi yang besar bagi kehidupan manusia baik pada skala mikro
maupun pada skala makro. Implementasi ajaran untuk "berpuasa dari pada
berhutang" mengandung nilai implisit agar kita selalu mengedepankan
semangat berdikari dan semangat bertumpu pada kekuatan sendiri dengan tidak
menggantungkan pada kekuatan orang lain dengan mengharapkan bantuan dan
pertolongan jika suatu ketika mengalami kondisi kekurangan ekonomi. Nilai moral
ini memberikan pelajaran bagi kita semua agar pada kondisi dimana kita mengalami
kekurangan ekonomi, membiasakan untuk "ber-puasa" adalah sesuatu yang
lebih baik dari pada kita harus "berhutang" kepada pihak lain. Pada
kondisi seperti ini, kekurangan kebutuhan ekonomi kita ditahan dalam batas
tertentu dengan cara menjalankan puasa serta berusaha mencari kekurangan
tersebut dengan mencoba berwirausaha,
baik melalui usaha sendiri ataupun dengan bekerja pada orang lain.
Persepsi yang tidak kesemuanya benar
saat ini adalah tradisi "berhutang" telah menjadi sesuatu yang
membanggakan, bahkan telah menjadi trend baru bagi model pembangunan yang
sedang digalakkan di republik ini. Tidak hanya pengusaha swasta yang mempunyai
tradisi kurang baik ini, tetapi pemerintah sendiri memberikan contoh yang
vulgar berkenaan praktek hutang ke beberapa negara donor. Data setiap tahun
anggaran pendapatan dan belanja negara memastikan adanya rekening yang
bersumber dari bantuan (baca: hutang) luar negeri. Hal ini menggambarkan bahwa
perekonomian Indonesia saat ini tidak dapat melepaskam dari lilitan hutang luar
negeri. Sebuah gambaran negara yang penduduknya hidup dibiayai dari hutang.
Amat tragis dan memilukan. Masalah ini akan terurai jika ada keberanian dari shareholder
dan stockholder dari negara ini untuk mengambil keputusan agar melakukan
"puasa" bersama, baik pemerintahnya ataupun penduduknya. Sudah
saatnya kita sekarang ini "puasa" bersama dan tidak
"berhutang" demi kemaslahatan di masa mendatang dengan mengacu pada
kemampuan dan kekuatan yang ada di negeri ini. Maka dari itu perlu adanya
penyampai-an informasi yang luas terhadap masyarakat agar membiasakan
"berpuasa" daripada "berhutang". Bila perlu ada gerakan
nasional secara menyeluruh puasa bersama-sama antara elemen bangsa. Jika ini
terlaksana, maka serpihan nilai ekonomi Islam yang bermuatan moral dapat
diimplementasikan dalam kehidupan riil.
***
Realita
di atas perlu disadari bersama bahwa ekonomi Islam mempunyai cakupan yang luas,
tidak hanya sekedar yang berskala makro-kelembagaan dengan model perbank-an
syariah ataupun asuransi syariah, tetapi lebih jauh dari itu implementasi
ekonomi Islam dapat terlaksana melalui kesadaran akan perilaku individu di
keluarga untuk melaksanakan ajaran Islam secara kaffah, khususnya yang
berkaitan dengan nilai-nilai ekonomi. Ekonomi Islam dapat ditumbuhkembangkan
dari lingkungan keluarga dengan cara menjalankan ajaran Islam itu sendiri. Ini
yang menjadi titik pembeda antara konsep ekonomi Islam dengan konsep ekonomi
konvensional, baik kapitalis maupun sosialis. Dalam ajaran Islam, melaksanakan
ekonomi Islam dalam kehidupan sehari-hari mem-punyai arti juga menjalankan
Islam itu sendiri, karena sumber yang dijadikan dasar dalam melaksanakan ekonomi
Islam adalah agama Islam dengan al-Qur'an dan as-Sunnah sebagai referensi
utamanya. Sedang dalam ekonomi konvensional (baca: kapitalis dan sosialis)
sudah melepaskan nilai-nilai moral dan tidak mempunyai rujukan yang otentik
semacam ekonomi Islam. Wallahu 'alam bis shawab.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar