• Posted by : sahdarullah Rabu, 09 September 2015


    Oleh
    Prof. Dr. Wagiono Ismangil* dan Priono**

    Latar Belakang
    Fakta yang cukup masuk akal untuk menyebutkan bahwa perkembangan koperasi di Indonesia secara kuantitatif terbilang paling pesat dibandingkan kebanyakan negara manapun di dunia. Jika di negara-negara dengan tradisi berkoperasi yang telah mengakar kuat tak sedikit yang mengarah pada trend amalgamasi, situasi kontras terlihat di negeri ini. Mengacu pada data pertumbuhan kuantitatif koperasi Indonesia empat
    tahun terakhir, dari semula tercatat 118.644 unit (2002) meroket menjadi lebih dari 123
    ribu unit pada 2005 (Data Kementerian Negara Koperasi dan UKM, 2006).


    Hanya dalam tempo tiga tahun tak kurang 5.000 unit koperasi muncul bak cendawan di
    musim hujan. Ini juga bisa diartikan bahwa animo masyarakat masih terus meningkat
    dari masyarakat untuk menghidupkan perekonomian mereka melalui koperasi.

    Pesona statistik tersebut tentu tak bisa
    dijadikan patokan tunggal. Kita juga harus
    berlapang dada menerima kenyataan, bahwa
    dibandingkan BUMN dan swasta,
    koperasi belum memberikan kontribusi
    yang signifikan dalam perekonomian
    nasional. Sumbangan yang sangat kecil
    terhadap produk domestik bruto (PDB)
    memperlihatkan wajah lain dari
    perkembangan koperasi di Indonesia.
    Belum suksesnya Indonesia dalam
    mengembangkan perekonomian di
    tingkat pedesaaan yang mengakibatkan
    tidak berkembangnya ekonomi rakyat,
    merupakan akibat kurang optimalnya
    pengembangan wadah koperasi sebagai
    penopang perekonomian nasional. Koperasi
    masih diposisikan dalam zona sub
    sistem-bagian dari sistem-swasta dan
    BUMN, dengan kedudukan yang tidak
    sederajad. Karena berada dalam posisi
    sub sistem, koperasi di Indonesia kurang
    optimal dalam membangun jaringan
    koperasi (coop-network) yang memadai,
    akibatnya banyak keuntungan-keuntungan
    ekonomis yang terserap swasta dan
    BUMN.
    Seperti tersirat dalam pidato Presiden
    Susilo Bambang Yudhoyono dalam ritual
    Perayaan Harkop ke-58 di Bandung
    setahun lalu, statement .Revitalisasi
    Koperasi Sebagai Solusi Mengatasi
    Pengangguran dan Kemiskinan.,
    memang bukannya tanpa alasan. Dibutuhkan
    eksistensi koperasi-koperasi
    yang berkualitas untuk memberi keyakinan
    kepada khalayak luas bahwa koperasi
    layak menjadi bagian penting usaha
    pemerintah untuk menciptakan lebih
    banyak lagi lapangan kerja. Diperlukan usaha
    yang terus menerus untuk menstimulasi
    pertumbuhan koperasi menjadi lebih
    berkualitas dalam hal usaha maupun
    * Ketua Umum Induk Koperasi Pegawai RI (IKP-RI)
    ** Pemerhati masalah perkoperasian, bekerja di IKP-RI
    Infokop Nomor 29 Tahun XXII, 2006
    73
    organisasi dengan memanfaatkan
    keunggulan komparatif yang dimiliki.
    Untuk itu unit-unit usaha koperasi perlu
    dibangun dan dijalankan dalam kultur
    ekonomi yang efektif dan efisien. Efisiensi
    dapat dipantau dengan melihat
    pelayanan-pelayanan yang dapat dicapai
    oleh para anggota dan pengadaan
    pelayanan dengan mutu yang lebih baik
    daripada para pesaing yang ada serta
    pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan
    riil anggota koperasi.
    Pengembangan Usaha : Fleksibilitas
    dan Independensi
    Dalam peta perekonomian, koperasi
    merupakan entitas ekonomi dengan
    unikum tersendiri. Dalam koperasi, pemilik
    dan pelanggan berada di satu
    genggaman. Segenap sumberdaya
    difokuskan untuk melayani kepentingan
    anggota dan bukan untuk pengurus atau
    manajer. Anggotalah yang menjadi target
    utama dalam setiap keputusan
    organisasi dan usaha koperasi. Kesejahteraan
    anggota terefleksikan melalui
    pelayanan dan akses optimal terhadap
    segenap sumber daya organisasi dan
    ekonomi koperasi. Untuk mempertahankan
    formasi itu, perlu dibangun sebuah
    system yang mampu mendorong usaha
    koperasi berkembang.
    Pertama, perlu terlebih dahulu disadari
    bahwa dalam koperasi, pengurus bukan
    pengusaha. Kalaupun pengusaha, layaknya
    adalah di bidang yang tak terkait
    dengan bidang yang ditangani koperasinya.
    Koperasi konsumen, koperasi produsen,
    atau koperasi kredit, memiliki mekanisme
    usaha spesifik yang harus dikelola
    secara profesional agar berkembang.
    Pengembangan usaha harus diwadahi
    secara independen dimana unit-unit usaha
    yang ditangani koperasi harus dikemas
    dan dikelola secara mandiri. Kondisi
    demikian meniscayakan pengurus koperasi
    untuk tidak banyak campur tangan.
    Pengalaman-pengalaman di masa lalu
    harus dijadikan peringatan, bahwa banyak
    unit usaha koperasi gagal justeru
    akibat pengurus terlalu turut campur.
    Maka, sah saja koperasi membentuk
    sebuah PT (perseroan terbatas) dengan
    catatan sebagian besar sahamnya
    dimiliki oleh koperasi. Atas dasar itulah
    Induk Koperasi Pegawai Republik Indonesia
    (IKP-RI) kemudian mendirikan
    Bank Kesejahteraan Ekonomi (BKE),
    yang badan hukumnya berbentuk PT.
    Terkait dengan PT BKE, IKP-RI bersikap
    fleksibel dengan merajut kemitraan dengan
    institusi dan badan-badan non koperasi.
    Agar PT menjadi alat efektif bagi koperasi,
    profesionalisme ditegakkan.
    Rekrutmen tenaga-tenaga terlatih dan
    berpengalaman menjadi sebuah keharusan.
    Semua urusan teknis atau pengendalian
    operasional diserahkan kepada
    manajemen profesional. Tidak sekalipun
    pengurus koperasi ikut campur terlalu
    jauh. Tugas pengurus hanya menentukan
    arah kebijakan.
    Watak independen terlihat jelas dalam
    pengelolaan BKE. Ada pemisahan yang
    tegas antara pengurus dan direksi.
    Pengurus boleh menjadi komisaris, tapi
    tidak mencampuri urusan direksi kecuali
    menyangkut garis kebijakan umum.
    Pengurus IKP-RI menyadari, koperasi
    tidak akan bisa berfungsi sebagaimana
    diharapkan apabila itu dicampuri secara
    tidak profesional.
    Infokop Nomor 29 Tahun XXII, 2006
    74
    Independensi pengelolaan usaha
    dalam konteks relasi antara pengurus
    koperasi dengan manajemen, merupakan
    refleksi kultur usaha koperasi yang fleksibel.
    Fleksibilitas usaha mencerminkan
    kesiapan koperasi untuk menangkap
    peluang yang ada, sekaligus merupakan
    keterbukaan untuk mengembangkan
    daya saing.
    Karena itu, konsep dari-oleh dan
    untuk anggota akhirnya memang bukan
    dogma yang tertutup bagi penafsiran
    kreatif. Bukan harga mati dan karenanya
    terbuka dan layak untuk dievisi secara
    konstruktif sesuai kebutuhan. Dalam konsep
    relasional antara IKP-RI dengan BKE,
    dari dan oleh boleh dimandatkan kepada
    manajer plus kerjasama dengan pihak
    manapun yang memiliki visi sejalan.
    Hanya saja, fokus utama tetap untuk
    kepentingan anggota.
    IKP-RI telah merealisasikan upaya ini
    sejak lama melalui PT BKE yang dikelola
    secara independen. Saat krisis
    moneter dan krisis ekonomi melanda
    Indonesia yang menyebabkan dunia perbankan
    ikut terpuruk, Bank Kesejahteraan
    tetap eksis. Walaupun termasuk
    bank kecil, tetapi selalu masuk kategori
    bank sehat.
    Potretnya kini, setelah 14 tahun
    beroperasi, bank yang 71,85%
    sahamnya dimiliki IKP-RI ini berada di
    peringkat teratas dalam .10 Bank Non-
    Devisa Terbaik. versi Majalah InfoBank
    dan Investor. Bahkan yang menggembirakan,
    BKE telah mencapai modal inti di
    atas Rp 100 miliar, berarti lebih cepat dari
    batas waktu yang di­tetapkan oleh Arsitektur
    Perbankan Indonesia (2010).
    Mengenai visi dan misi, tetap melayani
    pegawai RI. Ini bisa dilihat dari komposisi
    kredit yang diperuntukkan bagi anggota.
    Sebagian besar (87,8%) kredit BKE
    disalurkan kepada koperasi-koperasi
    pegawai RI mulai dari primer (KP-RI) sampai
    sekundernya di tingkat provinsi (PKP/
    GKP-RI). Sebagai informasi, keanggotaan
    IKP-RI tidak mengalami perubahan: masih
    tetap 27 GKP/PKP-RI Tingkat Provinsi,
    yang mencakup 176 PKP-RI Kabupaten/
    Kota, 10.964 KP-RI (primer) dan
    2.122.711 orang anggota atau 52,27% dari
    jumlah PNS (4.060.894 orang).
    Sisanya (12,2%), disalurkan dalam
    bentuk kredit usaha produktif komersial.
    Bahkan, BKE masih menjadi sumber
    pendapatan utama IKP-RI. Untuk tahun
    buku 2005, dividen dari BKE sebesar Rp
    9,6 miliar. Sepertiganya (Rp 3,2 miliar)
    dibukukan sebagai pendapatan IKP-RI.
    Selebihnya (6,4 miliar) digunakan untuk
    cadangan pengembangan usaha IKP-RI,
    jasa SKPB (Simpanan Khusus Pendirian
    Bank), dan menambah investasi
    saham di bank tersebut.
    Keberadaan Bank Kesejahteraan
    sebagai strategic business unit, sampai
    saat ini terbukti membawa manfaat yang
    besar bagi para anggotanya, terutama di
    tingkat primer, di desa-desa dan di kota
    menengah. Terbukti bagi IKP-RI, BKE
    merupakan alat perjuangan yang efektif
    untuk meningkatkan kesejahteraan
    pegawai negeri anggota IKP-RI.
    Membangun Kultur Jejaring
    Untuk berkembang dengan daya
    saing memadai, wawasan global
    dibutuhkan oleh segenap elemen pembentuk
    koperasi. Trend pola usaha global
    yang terkoneksi dengan system bisnis
    dan ekonomi yang lebih luas mengharuskan
    koperasi untuk mengembangInfokop
    Nomor 29 Tahun XXII, 2006
    75
    kan kerjasama, baik dengan sesama
    koperasi maupun nonkoperasi sepanjang
    memiliki visi yang sesuai. Konsekuensinya,
    dibutuhkannya kemampuan dan
    kultur manajemen jejaring yang akan
    menjadikan unit usaha koperasi menjadi
    fleksibel.
    Semakin disadari bahwa perencanaan
    bisnis yang terpusat di puncak manajemen
    kian menjadi tidak efektif. Sebagai
    gantinya, perencananan strategis yang
    mencakup proses-proses yang melibatkan
    semua anggota yang memberi
    masukan pemikiran sehingga merupakan
    perspektif bersama (shared) semakin
    diminati. Melalui kebersamaan dalam
    kerjasama tim berjaringan kerja dapat
    digalang daya juang dan daya saing yang
    dapat diandalkan.
    Jaringan kerja yang ditata dari bawah
    membuat koperasi dapat memacu sumber
    dana yang berasal dari anggota-anggota
    secara lebih baik. Tanpa adanya
    pengaturan sumber dana, terutama yang
    datang dari para anggota, bangunan
    cooperative network cenderung rapuh.
    Karena itu ditekankan, bahwa sumber
    dana dari yang berasal dari luar, hanya
    sebagai pelengkap dan jumlahnya tak
    melebihi 30% dari seluruh dana-dana
    yang berasal dari para anggotanya.
    Pemekaran jaringan koperasi
    diupayakan untuk membentuk sinergi
    untuk secara kolektif mengantisipasi
    pengaruh dari asosiasi pengusaha
    setempat yang biasanya melindungi
    kepentingan pengusaha-pengusaha
    yang hanya bermotif mencari
    keuntungan, di samping itu tersedianya
    jaringan koperasi yang memadai
    secara vertikal maupun horizontal
    akan membantu meningkatkan bargain
    position koperasi terhadap institusi dan
    lembaga keuangan swasta maupun
    pemerintah yang dapat menentukan
    kebijakan yang berdampak bagi kelangsungan
    usaha koperasi. Memacu
    perkembangan gerakan koperasi tanpa
    membangun jaringan koperasi yang
    memadai, akan menyebabkan gerakan
    koperasi tetap tumbuh, tapi kerdil.
    Memadainya jaringan koperasi
    merupakan permulaan bisnis yang
    efisien, agar menghasilkan sinergi
    yang memadai dalam lingkup keterkaitan
    bisnis antara koperasi-koperasi
    primer dan sekunder serta koperasi
    tingkat atas dalam jaringan koperasi.
    Fleksibilitas diperlukan untuk
    menyambut tantangan bahwa tidak
    ada koperasi primer, sekunder, dan
    tersiernya yang persis kongruen satu
    dengan yang lain.
    Ada beragam faktor yang membedakan
    satu dengan yang lain. Hal
    ini dikarenakan fakta keragaman
    dalam hal sumberdaya dan keahlian,
    pengalaman, daya dukung dan kondisi
    eksternal, latar belakang kebiasaan
    dan kultur organisasi setempat, faktor
    geografis, akses komunikasi dan
    transportasi, serta kapasitas permodalan.
    Karena itu melalui simbiosis
    interdependen dalam interaksi
    organisasi dapat dicarikan harmoni.
    Harmoni itu bisa diukur dalam beberapa
    hal, seperti penghematan biaya,
    pemanfaatan sumberdaya modal dan
    tenaga kerja, serta kesempatan berusaha
    yang lebih baik. Melalui jaringan
    koperasi sangat dimungkinkan terjadinya
    transfer sumber daya, sumber
    dana, pengalaman, serta keterampilan
    teknis terkait.
    Infokop Nomor 29 Tahun XXII, 2006
    76
    Kultur dan Struktur Kewirausahaan
    yang Kompatibel
    Bahwa koperasi bukanlah organisasi
    sosial, melainkan merupakan wahana
    bagi perjuangan ekonomi. Hasil dari perjuangan
    itulah yang pada gilirannya
    digunakan bagi anggota perorangan,
    sehingga kesejahteraannya meningkat.
    Pengelolaan koperasi harus profesional
    dan megikuti kaidah-kaidah ekonomi. Jika
    koperasi bergerak di bidang industri maka
    harus mengikuti kaidah industri, demikian
    pula jika bergerak di bidang perbankan,
    harus dikelola dengan kaidah perbankan.
    Sebagai contoh, keberadaaan koperasi
    di Skandinavia sangat mengesankan.
    Ekonomi masyarakat Negara itu praktis
    dikuasai koperasi. Lihat juga bank-bank
    besar yang jaringannya telah mendunia
    yang justru dimiliki oleh koperasi. Rabo
    Bank (Raiffeisen Boerenleen Bank),
    misalnya, basisnya adalah milik koperasi
    petani yang didirikan lebih dari 100
    tahun silam. Bank terkuat dan paling
    likuid di dunia, khususnya di Eropa,
    adalah Credit Agricole, yakni bank
    agraria di Perancis yang dimiliki oleh koperasi
    para petani negeri itu. Para koperasiwan
    setempat berhasil mengartikulasikan
    koperasi sebagai wahana perjuangan
    ekonomi secara mengagumkan.
    Kesadaran bahwa perkembangan yang
    cepat dalam intensitas ketersediaan
    informasi (informasi pasar, pesaing dan
    lingkungan berbisnis) merupakan stimulans
    bagi koperasi untuk semakin profesional,
    berjiwa kewirausahaan, dan tidak
    statis dalam proses kegiatan manajerial.
    Sumberdaya manusia sebagai pelaksana
    inti budaya dalam organisasi, yakni
    manifestasi dan nilai-nilai dalam organisasi.
    Siap atau atak siap, bahwa budaya
    berpengaruh dalam cara orang berhubungan
    dengan orang lain baik dalam internal
    maupun keluar organisasi.
    Secara sederhana budaya organisasi
    (organizational culture) adalah norma-norma
    dan nilai-nilai yang mengarahkan
    perilaku anggota organisasi dan lebih
    spesifik sebagai suatu kerangka kerja
    yang meliputi sikap, nilai-nilai norma
    perilaku, dan ekspektasi yang disumbangkan
    anggota organisasi secara keseluruhan.
    Koperasi tak perlu dibebani dengan
    misi-misi yang berada di luar jangkauannya.
    Kewirausahaan dikembangkan melalui
    unit yang independen dengan manajemen
    yang khusus difungsikan untuk itu
    dan dengan fokus tetap untuk kepentingan
    anggota. Dalam hal ini, IKP-RI telah
    membuktikannya dengan salah satu contohnya
    adalah keberhasilan pengelolaan
    Bank Kesejahteraan Ekonomi.
    Kesimpulan
    Koperasi memiliki dua nilai, kekeluargaan
    dan kewirausahaan. Dalam
    praktiknya, keduanya tak mudah untuk
    diharmonisasikan. Tanpa etos kekeluargaan
    yang meniscayakan dimensi
    sosial, koperasi kehilangan spiritnya. Tanpa
    kultur wirausaha yang kuat, koperasi
    lumpuh. Menempatkan usaha secara
    independen, merupakan salah satu langkah
    yang perlu ditempuh agar koperasi
    fokus pada profesionalitas kinerja. Untuk
    itu, diperlukan pemisahan antara kultur
    kekeluargaan dan kewirausahaan di
    tangan yang berbeda, dengan tetap
    melayani sebuah visi yang sama dan sebangun
    : melayani kepentingan anggota.

    0 komentar

  • Copyright © 2013 - Unbreakable Machine Doll - Ilmu Bermanfaat - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan