Posted by : sahdarullah
Sabtu, 19 September 2015
Salah
satu dari prinsip dalam bermuamalah yang harus menjadi akhlak yang harus
tertanam dalam diri pemasar adalah sikap adil(al-`adl). Cukuplah bagi kita
bahwa Al-Quran telah menjadikan tujuan semua risalah langit adalah melaksanakan
keadilan. Al-`Adl (yang mahaadil) adalah termaksud diantara nama-nama Allah
(Asmaul Husnah). Lawan kata dari keadilan adalah kezalimaman (al-dzulm), yaitu
sesuatu yang telah diharamkan Allah atas diri-Nya sebagaimana telah
diharamkan-Nya atas hamba-hamba-Nya, “Wahai hamba-hamba-ku, sesungguhnya aku
telah mengharamkan kezaliman atas diriku dan aku telah menjadikannya diantara
kamu sekalian sebagai hal yang di haramkan, maka janganlah kamu saling
mengzalimi.”
Allah mencintai
orang-orang yang adil dan membeci orang-orang yang berbuat zalim, bahkan
melaknat mereka. Firman-Nya, “Ingatlah, kutukan Allah (ditimpakan) atas
orang-orang yang zalim”(QS Hud [11] :18). Keserakahan dalam mengumpulkan harta
merupakan bagian dari bentuk kezaliman.
Syaik Al-Qaradhawis mengatakan, sesungguhnya pilar
penyangga kebebasan ekonnomi yang berdiri
di atas pemuliaan fitrah dan harkat manusia disempurnakan dan ditentukan oleh
pilar penyangga yang lain, yaitu keadilan. Keadilan dalam islam bukanlah
prinsip yang sekunder. Ia adalah dasar dan fondasi kokoh yang memasuki semua
ajaran dan hukum islam berupah akidah,syariah, dan akhlak (moral).
Ketika Allah memerintahkan tiga hal, keadilan
merupakan hal pertama yang disebutkan. memberi kepada kaum
kerabat...”(Al-Nahl[16]:90).
Ketika Allah memerintskan dua hal , keadilan
merupakan salah satu hal yang disebutkan. Firman allah, “ Sesungguhnya Allah
menyuruh kamu menyampaikan amanat yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu)
apabila menetapkan dengan adil”( Annisa [4] :58).
Ketika Allah memerintahkan satu hal,
keadilan merupakan hal yang diperintahkan tersebut. Allah berfirman, “Katakanlah: Tuhanku menyuruh menjalankan
keadilan” (Al-A’raf [7]: 29).
Sesungguhnya tauhid sendiri-yang
merupakan inti Islam dan fondasi bangunannya merupakan makna dari keadilan,
sebagaimana kemusyrikan merupakan suatu bentuk kezaliman. Seperti firman Allah
Ta’ala, “Sesungguhnya mempersekutukan
(Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar” (QS Luqman [31]: 13).
Implementasi sikap adil dalam bisnis
merupakan hal yang sangat berat, baik dalam industri perbankan, asuransi,
maupun dalam bentuk-bentuk perdagangan dan bisnis lainnya. Mungkin karena
itulah, Allah Swt. demikian sering menekankan sikap adil ini ketika berbicara
muamalah (bisnis), demikian pula dalam hadis-hadis Nabi Muhammad. Allah Swt.
berfirman, “Sesungguhnya Allah menyuruh
(kamu) berlaku adil dan berbuat kebijakan, memberi kepada kaum kerabat, dan
Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran” (QS Al-Nahl [16]:
90).
Sikap adil, misalnya, dibutuhkan
ketika seseorang praktisi perbankan syariah menentukan nisbah mudharabah, musyarakah, wakalah, wadiah, dan
sebagainya. Sikap adil juga diperlukan ketika asuransi syariah menentukan bagi
hasil dalam surplus underwriting, penentuan
bunga teknik (bunga teknik tidak ada dalam asuransi syariah), dan bagi hasil
investasi antara perusahaan dan peserta. Begitu juga ketika para pemasar
melakukan penjualan produk-produk konsumsi, haruslah selalu menjaga nilai-nilai
keadilan. Karena itu, transparansi dalam bisnis perbankan, asuransi, leasing, obligasi, pasar modal, dan
perdagangan menjadi sangat penting.
Islam secara jelas menjelaskan ketulusan
dan transparansi dalam bermuamalah (berbisnis). Al-Quran dengan tegas
menekankan perlunya hal ini dalam nilai semua ukuran. Allah berfirman, “ Dan berikanlah ukuran yang penuh dengan
timbangan dengan adil” (QS Al-An’am [6]: 152).
Dalam ayat lain dikatakan, “Maka berikanlah ukuran dan timbangan
sepenuhnya tanpa merampas apa yang telah menjadi hak mereka, dan jangan membuat
kerusakan di bumi setelah diperbaiki. Hal ini baik bagimu jika kamu sekalian
beriman” (QS Ali Imran [3]: 85).
Termasuk dalam prinsip keadilan
adalah memenuhi hak pekerja atau buruh. Dalam prinsip keadilan Islam, seorang
pekerja yang mencurahkan jerih payah dan keringatnya tidak boleh dikurangi atau
ditunda-tunda gaji atau upahnya. Allah Swt. berfirman, “sesungguhnya Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang
mengerjakan amalnya dengan baik” (QS Al-Kahfi [18]: 30).
“Adapun
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang shaleh, maka Allah akan
memberikan mereka dengan sempurna pahala amalan-amalan mereka, dan Allah tidak
menyukai orang-orang zalim” (QS Ali Imran [3]: 57).
Ayat ini mengisyaratkan bahwa tidak
memenuhi upah bagi para pekerja adalah suatu kezaliman yang tidak dicintai-Nya.
Kewajiban seorang Mukmin adalah menggunakan keadilan Allah sebagai tolok ukurnya.
Berkaitan dengan prinsip keadilan
ini, Sayyid Quthb dalam kitabnya yang sangat mahsyur mengatakan, “Kita tidak
akan dapat menghayati bentuk keadilan sosial dalam Islam tentang alam,
kehidupan, dan manusia. Keadilan sosial tidak lain hanyalah cabang dari prinsip
besar, di mana seluruh pembahasan Islam harus dirujukkan kepadanya.”
Islam adalah suatu undang-undang
yang mengatur semua sistem kehidupan manusia secara keseluruhan, tidak
memecahkan persoalan-persoalan yang ada di dalamnya secara acak, tidak pula
menghadapinya sebagai bagian-bagian yang terpisah satu sama lain. Hal ini
karena islam memiliki konsep yang menyeluruh dan lengkap tentang
alam,kehiudupan, dan manusia. Kepadanya berpangkal semua persoalan cabang dan
yang bersifat perincian; semuanya diikat dalam
teori-teori,kaidah-kaidah,syariat-syariat secara keseluruhan baik ibadah khusus
(ibadah mahdhah) maupun ibadah muamalahnya. Semua keluar dari konsep yang
lengkap, sempurna dan terpadu.
Sedangkan agama islam mengajak
pemeluknya agar selalu berada di depan, menjadi umat yang terbaik, yang dapat
memberi manfaat sebesar-besarnya bagi umat manusia.” Kamu adalah umat yang
terbaik, yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada mereka yang ma’ruf,
mencega dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah...”( QS Ali Imran [3]:110).
“ dan demikian pula kami telah menjadikan kamu sekalian umat yang adil dan
pilihan agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul menjadi
saksi pula atas perbuatanmu... “ ( QS Al-Baqarah [2]:143).
Dr. Mustaq Ahmad mengatakan, para
pelaku bisnis muslim diharuskan berhati-hati agar jangan sampai melakukan
tindakan yang merugikan dan membahayakan orang lain atau malah merugikan
dirinya sendiri akibat tindakan-tindakannya dalam dunia bisnis.
Al-Quran memperingatkan para pelaku
bisnis yang tidak memperhatikan kepentingan orang lain, sebagaimana islam juga
memperingatkan sesuatu yang akan menimbulkan kerugian pada orang lain; dan
bahwa itu bukan hanya tidak disetujui tetapi lebih dari itu, perilaku demikian
sangatlah dikutuk. Dalam hubungannya dengan masalah yang telah yang telah
disebutkan di atas, Al-Quran telah menemukan dalam beberapa ayat berikut “ Dan
janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga-harga yang rendah dan hanya
kepada akulah kamu bertaqwa” ( QS [2]:41). “Alangkah buruknya (perbuatan)
mereka yang menjual dirinya sendiri dengan kekafiran kepada yang telah
diturunkan Allah”. (QS AL-Baqarah [2]: 90)
“Dan amat jahatlah perbuatan mereka
menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui” (QS Al-Baqara[2]:102).
“Wahai orang-orang yang beriman,
makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di dalam bumi, dan
janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan karena sesungguhnya setan itu
adalah musuh yang nyata bagimu” (QS Al-Baqara [2] :168). Mehalalkan segala cara
dalam rangka untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya, sekalipun
mengorbankan hak-hak orang lain adalah manifsetasi sifat keserakahan yang
muncul karena banyak mengikuti nafsu setan.
“ Dan sesungguhnya orang-orang yang
menukar janjinya dengan Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang
sedikit, mereka itu tidak mendapat bagian
(pahala) di akhirat, dah Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan
tidak akan melihat mereka pada hari kiamat, dan tidak (pula) akan menyucikan mereka. Bagi mereka, azab
yang pedih” (Ali Imran [3]: 77).
“Kamu menghendaki harta benda dunia,
sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Mahaperkasa
lagi Mahabijaksana” (Al-Anfal [8]: 67).
Singkatnya, seorang pelaku bisnis
hendaknya menghindari dan menahan diri dari bisnis yang tidak menguntungkan dan
jangan sampai melakukan sebuah bentuk kezaliman atau perampasan hak orang lain,
sebab tindakan ini hanya akan menimbulkan kerugian yang pasti.
Al-Quran juga tidak mengizinkan semua
bentuk perilaku yang akan menimbulkan kerusakan, keserakaan, dan kezaliman.
“Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli, dan janganlah penuhi dengan
saksi saling menyulitkan. Jika kamu melakukan (yang demikian), maka
sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu” (Al-Baqarah [2]: 282).
“Dan sesungguhnya kebijakan dari
orang-orang yang bersyarikat itu sebagian dari mereka berbuat zalim kepada
sebagian lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; dan
amat sedikitlah mereka ini...”(QS Shad [38]: 24)
Maka, bisnis syariah adalah bisnis yang
mengandung keadilan dan prinsip-prinsip etika yang tinggi. Allah Swt dengan
tegas mengatakan bahwa dalam bisnis syariah haram hukumnya menzalimi satu sama
lain.
“... Kamu tidak (boleh) menzalimi
dan pula dizalimi...” (Al-Baqarah [2]: 279)
”...Dan Allah tidak menyukai mereka
yang berbuat zalim ....” “... Dan Allah tidak menyukai mereka yang berbuat
kerusakan...”
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar