Posted by : sahdarullah
Sabtu, 21 September 2013
Sewaktu masih
kecil, aku sering merasa dijadikan pembantu olehnya. Ia selalu menyuruhku
mengerjakan tugas-tugas seperti menyapu lantai dan mengepelnya setiap pagi dan
sore. Setiap hari, aku ‘dipaksa’ membantunya memasak di pagi buta sebelum ayah
dan adik-adikku bangun. Bahkan sepulang sekolah, ia tak mengizinkanku bermain
sebelum semua pekerjaan rumah dibereskan. Sehabis makan, aku pun harus
mencucinya sendiri juga piring bekas masak dan makan yang lain. Tidak jarang
aku merasa kesal dengan semua beban yang diberikannya hingga setiap kali
mengerjakannya aku selalu bersungut-sungut.
Kini, setelah
dewasa aku mengerti kenapa dulu ia melakukan itu semua. Karena aku juga akan
menjadi seorang istri dari suamiku, ibu dari anak-anakku yang tidak akan pernah
lepas dari semua pekerjaan masa kecilku dulu. Terima kasih ibu, karena engkau
aku menjadi istri yang baik dari suamiku dan ibu yang dibanggakan oleh
anak-anakku.
Saat pertama
kali aku masuk sekolah di Taman Kanak-Kanak, ia yang mengantarku hingga masuk
ke dalam kelas. Dengan sabar pula ia menunggu. Sesekali kulihat dari jendela
kelas, ia masih duduk di seberang sana. Aku tak peduli dengan setumpuk
pekerjaannya di rumah, dengan rasa kantuk yang menderanya, atau terik, atau
hujan. Juga rasa jenuh dan bosannya menunggu. Yang penting aku senang ia
menungguiku sampai bel berbunyi.
Kini, setelah
aku besar, aku malah sering meninggalkannya, bermain bersama teman-teman,
bepergian. Tak pernah aku menungguinya ketika ia sakit, ketika ia membutuhkan
pertolonganku disaat tubuhnya melemah. Saat aku menjadi orang dewasa, aku
meninggalkannya karena tuntutan rumah tangga.
Di usiaku
yang menanjak remaja, aku sering merasa malu berjalan bersamanya. Pakaian dan
dandanannya yang kuanggap kuno jelas tak serasi dengan penampilanku yang
trendi. Bahkan seringkali aku sengaja mendahuluinya berjalan satu-dua meter
didepannya agar orang tak menyangka aku sedang bersamanya.
Padahal
menurut cerita orang, sejak aku kecil ibu memang tak pernah memikirkan
penampilannya, ia tak pernah membeli pakaian baru, apalagi perhiasan. Ia
sisihkan semua untuk membelikanku pakaian yang bagus-bagus agar aku terlihat
cantik, ia pakaikan juga perhiasan di tubuhku dari sisa uang belanja
bulanannya. Padahal juga aku tahu, ia yang dengan penuh kesabaran, kelembutan
dan kasih sayang mengajariku berjalan. Ia mengangkat tubuhku ketika aku
terjatuh, membasuh luka di kaki dan mendekapku erat-erat saat aku menangis.
Selepas SMA,
ketika aku mulai memasuki dunia baruku di perguruan tinggi. Aku semakin merasa
jauh berbeda dengannya. Aku yang pintar, cerdas dan berwawasan seringkali
menganggap ibu sebagai orang bodoh, tak berwawasan hingga tak mengerti apa-apa.
Hingga kemudian komunikasi yang berlangsung antara aku dengannya hanya sebatas
permintaan uang kuliah dan segala tuntutan keperluan kampus lainnya.
Usai wisuda
sarjana, baru aku mengerti, ibu yang kuanggap bodoh, tak berwawasan dan tak
mengerti apa-apa itu telah melahirkan anak cerdas yang mampu meraih gelar
sarjananya. Meski Ibu bukan orang berpendidikan, tapi do’a di setiap sujudnya,
pengorbanan dan cintanya jauh melebihi apa yang sudah kuraih. Tanpamu Ibu, aku
tak akan pernah menjadi aku yang sekarang.
Pada hari
pernikahanku, ia menggandengku menuju pelaminan. Ia tunjukkan bagaimana meneguhkan
hati, memantapkan langkah menuju dunia baru itu. Sesaat kupandang senyumnya
begitu menyejukkan, jauh lebih indah dari keindahan senyum suamiku. Usai akad
nikah, ia langsung menciumku saat aku bersimpuh di kakinya. Saat itulah aku
menyadari, ia juga yang pertama kali memberikan kecupan hangatnya ketika aku
terlahir ke dunia ini.
Kini setelah
aku sibuk dengan urusan rumah tanggaku, aku tak pernah lagi menjenguknya atau
menanyai kabarnya. Aku sangat ingin menjadi istri yang shaleh dan taat kepada
suamiku hingga tak jarang aku membunuh kerinduanku pada Ibu. Sungguh, kini
setelah aku mempunyai anak, aku baru tahu bahwa segala kiriman uangku setiap
bulannya tak lebih berarti dibanding kehadiranku untukmu. Aku akan datang dan
menciummu Ibu, meski tak sehangat cinta dan kasihmu kepadaku. (Bayu Gautama,
Untuk Semua Ibu Di Seluruh Dunia)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar