Posted by : sahdarullah
Kamis, 26 September 2013
Penulis :
Al-Ustadz Abu Abdurrahman Mubarak
Allah
Subhanahu wa Ta’ala dengan kekuasaan dan hikmah-Nya yang sempurna menjadikan
dunia serta perhiasannya yang fana ini sebagai medan ujian dan cobaan.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
الَّذِي
خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“Yang
menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang
lebih baik amalnya.” (Al-Mulk: 2)
الم.
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا ءَامَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ
“Alif laam
miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan:
‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi?” (Al-’Ankabut: 1-2)
Selanjutnya,
Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan rahmah-Nya memberitahukan kepada hamba-hamba-Nya
hikmah dihadapkannya mereka kepada berbagai ujian dan cobaan itu. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ
فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللهُ الَّذِينَ صَدَقُوا
وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
“Dan
sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka
sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia
mengetahui orang-orang yang dusta.” (Al-’Ankabut: 3)
Asy-Syaikh
Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu menyatakan dalam tafsirnya:
“Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan tentang hikmah-Nya yang sempurna. Di
mana sifat hikmah-Nya mengharuskan setiap orang yang mengaku beriman tidak akan
dibiarkan begitu saja dengan pengakuannya. Pasti dia akan dihadapkan pada
berbagai ujian dan cobaan. Bila tidak demikian, niscaya tidak bisa terbedakan
antara orang yang benar dan jujur dengan orang yang dusta. Tidak bisa
terbedakan pula antara orang yang berbuat kebenaran dengan orang yang berbuat
kebatilan. Sudah merupakan ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dia menguji
(manusia) dengan kelapangan dan kesempitan, kemudahan dan kesulitan, kesenangan
dan kesedihan, serta kekayaan dan kemiskinan.”
Al-Imam Ibnu
Katsir rahimahullahu menyatakan dalam tafsirnya: “(Agar terbedakan) orang-orang
yang benar dalam pengakuannya dari orang-orang yang dusta dalam ucapan dan
pengakuannya. Sedangkan Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha mengetahui apa yang
telah terjadi, yang sedang terjadi, dan yang akan terjadi. Allah Subhanahu wa
Ta’ala juga mengetahui cara terjadinya sesuatu bila hal itu terjadi. Hal ini
adalah prinsip yang telah disepakati (ijma’) oleh para imam Ahlus Sunnah wal
Jamaah.”
Allah
Subhanahu wa Ta’ala bahkan telah mengabarkan:
وَجَعَلْنَا
بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍ فِتْنَةً أَتَصْبِرُونَ وَكَانَ رَبُّكَ بَصِيرًا
“Dan Kami
jadikan sebagian kamu cobaan bagi sebagian yang lain. Maukah kamu bersabar? Dan
adalah Rabbmu Maha melihat.” (Al-Furqan: 20)
Asy-Syaikh
Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu menerangkan maksud ayat di atas dalam
tafsirnya: “Seorang rasul adalah ujian bagi umatnya, yang akan memisahkan
orang-orang yang taat dengan orang-orang yang durhaka terhadap rasul tersebut.
Maka Kami jadikan para rasul sebagai ujian dan cobaan untuk mendakwahi kaum
mereka. Seorang yang kaya adalah ujian bagi yang miskin. Demikian pula
sebaliknya. Orang miskin adalah ujian bagi orang kaya. Semua jenis tingkatan
makhluk (merupakan ujian dan cobaan bagi yang sebaliknya) di dunia ini. Dunia
yang fana ini adalah medan yang penuh ujian dan cobaan.”
Dari
penjelasan Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu di atas, kita dapatkan
faedah bahwa: seorang istri adalah ujian bagi suaminya, anak adalah ujian bagi
kedua orangtuanya, pembantu adalah ujian bagi tuannya, tetangga adalah ujian
bagi tetangga yang lainnya, rakyat adalah ujian bagi pemerintahnya, dan
sebagainya. Begitu pula sebaliknya.
Selanjutnya,
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu menerangkan: “Tujuannya adalah
apakah kalian mau bersabar, kemudian menegakkan berbagai perkara yang
diwajibkan atas kalian, sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membalas amalan
kebaikan kalian. Ataukah kalian tidak mau bersabar yang dengan sebab itu kalian
berhak mendapatkan kemurkaan (Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan siksaan?! Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
زُيِّنَ
لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ
الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ
وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللهُ
عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ
“Dijadikan
indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu:
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di
dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Ali ‘Imran: 14)
Allah
Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan bahwa kecintaan terhadap kenikmatan dan
kesenangan dunia akan ditampakkan indah dan menarik di mata manusia. Allah
Subhanahu wa Ta’ala juga menyebutkan hal-hal ini secara khusus karena hal-hal
tersebut adalah ujian yang paling dahsyat, sedangkan hal-hal lain hanyalah
mengikuti. Maka, tatkala hal-hal ini ditampakkan indah dan menarik kepada
mereka, disertai faktor-faktor yang menguatkannya, maka jiwa-jiwa mereka akan
bergantung dengannya. Hati-hati mereka akan cenderung kepadanya.” (Taisir
Al-Karimirrahman, hal. 124)
Fitnah
(godaan) wanita
Betapa
banyak lelaki yang menyimpang dari jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala karena
godaan wanita. Betapa banyak pula seorang suami terjatuh dalam berbagai
kezaliman dan kemaksiatan disebabkan istrinya. Sehingga Allah Subhanahu wa
Ta’ala memperingatkan hamba-hamba-Nya yang beriman dengan firman-Nya:
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ
فَاحْذَرُوهُمْ
“Wahai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu
ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka.”
(At-Taghabun: 14)
Al-Imam
Mujahid rahimahullahu berkata: “Yakni akan menyeret orangtua atau suaminya
untuk memutuskan tali silaturahim atau berbuat maksiat kepada Rabbnya, maka
karena kecintaan kepadanya, suami atau orangtuanya tidak bisa kecuali
menaatinya (anak atau istri tersebut).”
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اسْتَوْصُوا
بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلْعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ
مَا فِي الضِّلْعِ أَعْلَاهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ
تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ، فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ
“Berniat dan
berbuat baiklah kalian kepada para wanita. Karena seorang wanita itu diciptakan
dari tulang rusuk yang bengkok, dan sesungguhnya rusuk yang paling bengkok
adalah yang paling atas. Maka apabila kamu berusaha dengan keras meluruskannya,
niscaya kamu akan mematahkannya. Sedangkan bila kamu membiarkannya niscaya akan
tetap bengkok. Maka berwasiatlah kalian kepada para istri (dengan wasiat yang
baik).” (Muttafaqun ‘alaih dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
مَا تَرَكْتُ
بَعْدِي فِتْنَةً هِيَ أَضَرُّ عَلَى الرِّجَالِ مِنََ النِّسَاءِ
“Tidaklah
aku tinggalkan setelahku fitnah (ujian/godaan) yang lebih dahsyat bagi para
lelaki selain fitnah wanita.” (Muttafaqun ‘alaih dari Usamah bin Zaid radhiyallahu
‘anhuma)
Al-Mubarakfuri
rahimahullahu berkata: “(Sisi berbahayanya fitnah wanita bagi lelaki) adalah
karena keumuman tabiat seorang lelaki adalah sangat mencintai wanita. Bahkan
banyak terjadi perkara yang haram (zina, perselingkuhan, pacaran, dan
pemerkosaan, yang dipicu [daya tarik] wanita). Bahkan banyak pula terjadi
permusuhan dan peperangan disebabkan wanita. Minimalnya, wanita atau istri bisa
menyebabkan seorang suami atau seorang lelaki ambisius terhadap dunia. Maka
ujian apalagi yang lebih dahsyat darinya?
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerupakan godaan wanita itu seperti setan,
sebagaimana dalam hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang wanita. Kemudian beliau
mendatangi Zainab istrinya, yang waktu itu sedang menyamak kulit hewan. Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu menunaikan hajatnya (menggaulinya dalam
rangka menyalurkan syahwatnya karena melihat wanita itu). Setelah itu, beliau
keluar menuju para sahabat dan bersabda:
إِنَّ
الْمَرْأَةَ تُقْبِلُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ وَتُدْبِرُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ،
فَإِذَا أَبْصَرَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً فَلْيَأْتِ أَهْلَهُ فَإِنَّ ذَلِكَ
يَرُدُّ مَا فِي نَفْسِهِ
“Sesungguhnya
wanita itu datang dalam bentuk setan dan berlalu dalam bentuk setan pula.
Apabila salah seorang kalian melihat seorang wanita (dan bangkit syahwatnya)
maka hendaknya dia mendatangi istrinya (menggaulinya), karena hal itu akan
mengembalikan apa yang ada pada dirinya (meredakan syahwatnya).” (HR. Muslim)
Al-Imam
An-Nawawi rahimahullahu berkata dalam Syarah Shahih Muslim (8/187): “Para ulama
mengatakan, makna hadits itu adalah bahwa penampilan wanita membangkitkan
syahwat dan mengajak kepada fitnah. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan
adanya kecenderungan atau kecintaan kepada wanita dalam hati para lelaki,
merasa nikmat melihat kecantikannya berikut segala sesuatu yang terkait
dengannya. Sehingga seorang wanita ada sisi keserupaan dengan setan dalam hal
mengajak kepada kejelekan atau kemaksiatan melalui was-was serta ditampakkan
bagus dan indahnya kemaksiatan itu kepadanya.
Dapat
diambil pula faedah hukum dari hadits ini bahwa sepantasnya seorang wanita
tidak keluar dari rumahnya, (berada) di antara lelaki, kecuali karena sebuah
keperluan (darurat) yang mengharuskan dia keluar.
Oleh karena
itulah, Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang segala sesuatu yang akan menyebabkan hamba-hamba-Nya terfitnah dengan
wanita, seperti memandang, berkhalwat (berduaan dengan wanita yang bukan
mahram), ikhtilath (campur-baur lelaki dan perempuan yang bukan mahram). Bahkan
mendengarkan suara wanita yang bisa membangkitkan syahwat pun dilarang.
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلْ
لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ
أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
Katakanlah
kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan
memelihara kemaluannya.” Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka,
sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat. (An-Nur: 30)
فَلاَ
تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا
مَعْرُوفًا
“Maka
janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada
penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (Al-Ahzab: 32)
وَلَا
تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan
janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (Al-Isra’: 32)
Dari Ibnu
Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا
يَخْلُوَنَّ أَحَدُكُمْ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
“Janganlah
salah seorang kalian berduaan dengan seorang wanita kecuali bersama mahramnya.”
(Muttafaqun ‘alaih)
Dari ‘Uqbah
bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
إِيَّاكُمْ
وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ: أَفَرَأَيْتَ
الْحَمْوَ؟ قَالَ: الْحَمْوُ الْمَوْتُ
“Jauhi oleh
kalian masuk kepada para wanita.” Seorang lelaki Anshar bertanya: “Bagaimana
pendapat anda tentang ipar?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
“Ipar itu berarti kebinasaan (banyak terjadi zina antara seorang lelaki dengan
iparnya).” (Muttafaqun ‘alaih)
Agar
hamba-hamba-Nya selamat dari godaan wanita, Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menikah dengan
wanita shalihah, yang akan saling membantu dengan dirinya untuk menyempurnakan
keimanan dan ketakwaannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
وَلَا
تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ
“Dan
janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.”
(Al-Baqarah: 221)
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تُنْكَحُ
الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا،
فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Seorang
wanita itu dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, kebaikan nasabnya,
kecantikannya, dan agamanya. Maka pilihlah wanita yang bagus agamanya, niscaya
engkau akan beruntung.” (Muttafaqun ‘alaih dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu)
Godaan dunia
dan harta
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ
الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ، وَإِنَّ اللهُ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا فَيَنْظُرُ
كَيْفَ تَعْمَلُونَ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ فَإِنَّ أَوَّلَ
فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ
“Sesungguhnya
dunia itu manis (rasanya) dan hijau (menyenangkan dilihat). Dan sesungguhnya
Allah Subhanahu wa Ta’ala menggantikan sebagian kalian dengan sebagian yang
lain di dalamnya, maka Dia akan melihat bagaimana kalian beramal dengan dunia
tersebut. Oleh karena itu, takutlah kalian terhadap godaan dunia (yang
menggelincirkan kalian dari jalan-Nya) dan takutlah kalian dari godaan wanita,
karena ujian yang pertama kali menimpa Bani Israil adalah godaan wanita.” (HR.
Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu)
إِنَّ
لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً، وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ
“Sesungguhnya
setiap umat itu akan dihadapkan dengan ujian (yang terbesar). Dan termasuk
ujian yang terbesar yang menimpa umatku adalah harta.” (HR. At-Tirmidzi dari
‘Iyadh bin Himar radhiyallahu ‘anhu)Harta dan dunia bukanlah tolok ukur
seseorang itu dimuliakan atau dihinakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sebagaimana firman-Nya:
فَأَمَّا
الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ
رَبِّي أَكْرَمَنِ. وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ
فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ
Adapun
manusia apabila Rabbnya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya
kesenangan, maka dia berkata: “Rabbku telah memuliakanku.” Adapun bila Rabbnya
mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata: “Rabbku menghinakanku.”
(Al-Fajr: 15-16)
Al-Imam
Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Maksud ayat-ayat tersebut adalah tidak
setiap orang yang Aku (Allah Subhanahu wa Ta’ala) beri kedudukan dan limpahan
nikmat di dunia berarti Aku limpahkan keridhaan-Ku kepadanya. Hal itu hanyalah
sebuah ujian dan cobaan dari-Ku untuknya. Dan tidaklah setiap orang yang Aku
sempitkan rezekinya, Aku beri sekadar kebutuhan hidupnya tanpa ada kelebihan,
berarti Aku menghinakannya. Namun Aku menguji hamba-Ku dengan
kenikmatan-kenikmatan sebagaimana Aku mengujinya dengan berbagai musibah.”
(Ijtima’ul Juyusy, hal. 9)
Sehingga,
dunia dan harta bisa menyebabkan pemiliknya selamat serta mulia di dunia dan
akhirat, apabila dia mendapatkannya dengan cara yang diperbolehkan oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia juga
mensyukurinya serta menunaikan hak-haknya sehingga tidak diperbudak oleh dunia
dan harta tersebut. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَا حَسَدَ
إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ: رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالًا فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ
فِي الْحَقِّ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِي بِهَا
وَيُعَلِّمُهَا
“Tidak boleh
iri kecuali kepada dua golongan: Orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala
karuniakan harta kepadanya lalu dia infakkan di jalan yang benar, serta orang
yang Allah Subhanahu wa Ta’ala karuniakan ilmu kepadanya lalu dia menunaikan
konsekuensinya (mengamalkannya) dan mengajarkannya.” (Muttafaqun ‘alaih dari
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu)
Dan
demikianlah keadaan para sahabat dahulu. Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu
menceritakan: Beberapa orang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata
kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
يَا رَسُولَ
اللهِ، ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِالْأُجُورِ، يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّي
وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ
“Wahai
Rasulullah, orang-orang kaya telah mendahului kami untuk mendapatkan pahala.
Mereka shalat sebagaimana kami shalat. Mereka juga berpuasa sebagaimana kami
berpuasa. Namun mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka.” (HR. Muslim)
Sebaliknya,
orang yang tertipu dengan harta dan dunia sehingga dia diperbudak olehnya, dia
akan celaka dan binasa di dunia maupun akhirat. Na’udzu billah min dzalik (Kita
berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari hal tersebut). Padahal Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah memperingatkan tentang hakikat harta dan dunia itu
dalam firman-Nya:
وَمَا
الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
“Kehidupan
dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (Ali Imran: 185)
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا
الْفَقْرُ أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلَكِنِّي أَخْشَى أَنْ تُبْسَطَ عَلَيْكُمُ
الدُّنْيَا كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ فَتَنَافَسُوهَا كَمَا
تَنَافَسُوهَا فَتُهْلِكُكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ
“Bukanlah
kefakiran yang aku khawatirkan atas kalian. Namun aku khawatir akan
dibentangkan dunia kepada kalian sebagaimana telah dibentangkan kepada orang-orang
sebelum kalian, lalu kalian berlomba-lomba mendapatkannya sebagaimana
orang-orang yang sebelum kalian, maka dunia itu akan membinasakan kalian
sebagaimana dia telah membinasakan orang-orang yang sebelum kalian.”
(Muttafaqun ‘alaih dari ‘Amr bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu)
تَعِسَ
عَبْدُ الدِّيْنَارِ وَالدِّرْهَمِ وَالْقَطِيفَةِ وَالْخَمِيصَةِ، إِنْ أُعْطِيَ
رَضِي وَإِنْ لَمْ يُعْطَ لَمْ يَرْضَ
“Celaka
hamba dinar, dirham, qathifah, dan khamishah (keduanya adalah jenis pakaian).
Bila dia diberi maka dia ridha. Namun bila tidak diberi dia tidak ridha.” (HR.
Al-Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Allah
Subhanahu wa Ta’ala menceritakan kejahatan orang yang berilmu dan ahli ibadah
dari kalangan ahli kitab yang telah diperbudak oleh harta dan dunia dalam
firman-Nya:
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ
لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللهِ
“Wahai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim
Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan
yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah.”
(At-Taubah: 34)
Al-Imam Ibnu
Katsir rahimahullahu menerangkan dalam tafsirnya: “Yang dimaksud ayat tersebut
adalah peringatan dari para ulama su’ (orang yang berilmu tapi jahat) dan ahli
ibadah yang sesat. Sebagaimana ucapan Suyfan ibnu Uyainah rahimahullahu:
‘Barangsiapa yang jahat dari kalangan orang yang berilmu di antara kita,
berarti ada keserupaan dengan para pemuka Yahudi. Sedangkan barangsiapa yang
sesat dari kalangan ahli ibadah kita, berarti ada keserupaan dengan para
pendeta Nasrani. Di mana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
dalam sebuah hadits yang shahih: ‘Sungguh-sungguh ada di antara kalian
perbuatan-perbuatan generasi sebelum kalian. Seperti bulu anak panah menyerupai
bulu anak panah lainnya.’ Para sahabat radhiyallahu ‘anhum bertanya: ‘Apakah
mereka orang Yahudi dan Nasrani?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
‘Siapa lagi?’
Dalam
riwayat yang lain mereka bertanya: ‘Apakah mereka Persia dan Romawi?’ Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Siapa lagi kalau bukan mereka?’
Intinya
adalah peringatan dari tasyabbuh (menyerupai) ucapan maupun perbuatan mereka.
Oleh karena itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لَيَأْكُلُونَ
أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللهِ
“(Mereka)
benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka
menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah.” (At-Taubah: 34)
Hal itu
karena mereka memakan harta orang lain dengan kedok agama. Mereka mendapat
keuntungan dan kedudukan di sisi umat, sebagaimana para pendeta Yahudi dan
Nasrani mendapatkan hal-hal tersebut dari umatnya di masa jahiliah. Hingga
ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus Rasul-Nya Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam, mereka pun tetap berkeras di atas kejahatan, kesesatan,
kekafiran, dan permusuhannya, disebabkan ambisi mereka terhadap kedudukan
tersebut. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala memadamkan kesesatan itu dengan cahaya
kenabian sekaligus menggantikan kedudukan mereka degan kehinaan serta
kerendahan. Dan mereka akan kembali menghadap Allah Subhanahu wa Ta’ala membawa
kemurkaan-Nya.”
Asy-Syaikh
Muhammad Al-Imam hafizhahullah berkata: “Sungguh, ambisi terhadap dunia
termasuk sebab yang menimbulkan berbagai macam fitnah pada generasi pertama.
Telah terdapat riwayat yang shahih dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, dalam
Masa’il Al-Imam Ahmad (2/171), bahwa beliau radhiyallahu ‘anhuma berkata:
Seorang dari Anshar datang kepadaku pada masa khalifah Utsman radhiyallahu
‘anhu. Dia berbicara denganku. Tiba-tiba dia menyuruhku untuk mencela Utsman
radhiyallahu ‘anhu. Maka aku katakan: ‘Sungguh, demi Allah, kita tidak mengetahui
bahwa Utsman membunuh suatu jiwa tanpa alasan yang benar. Dia juga tidak pernah
melakukan dosa besar (zina) sedikitpun. Namun inti masalahnya adalah harta.
Apabila dia memberikan harta tersebut kepadamu, niscaya engkau akan ridha.
Sedangkan bila dia memberikan harta kepada saudara/kerabatnya, maka kalian
marah.”
Selanjutnya,
Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam hafizhahullah berkata: “Bila kalian arahkan
pandangan ke tengah-tengah kaum muslimin, baik di zaman yang telah lalu maupun
sekarang, niscaya engkau akan saksikan kebanyakan orang yang tergelincir dari
jalan ini (al-haq) adalah karena tamak terhadap dunia dan kedudukan. Maka
barangsiapa yang membuka pintu ini untuk dirinya niscaya dia akan
berbolak-balik. Berubah-ubah prinsip agamanya dan akan menganggap remeh/ringan
urusan agamanya. (Bidayatul Inhiraf, hal. 141)
Al-Imam
Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Setiap orang dari kalangan orang yang
berilmu yang lebih memilih dunia dan berambisi untuk mendapatkannya, pasti dia
akan berdusta atas nama Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam fatwanya, dalam hukum
yang dia tetapkan, berita-berita yang dia sebarkan, serta
konsekuensi-konsekuensi yang dia nyatakan. Karena hukum-hukum Allah Subhanahu
wa Ta’ala mayoritasnya menyelisihi ambisi manusia. Lebih-lebih ambisi orang
yang tamak terhadap kedudukan dan orang yang diperbudak hawa nafsunya. Ambisi
mereka tidak akan bisa mereka dapatkan dengan sempurna kecuali dengan
menyelisihi kebenaran dan sering menolaknya. Apabila seorang yang berilmu atau
hakim berambisi terhadap jabatan dan mempertuhankan hawa nafsunya, maka ambisi
tersebut tidak akan didapatkan dengan sempurna kecuali dengan menolak
kebenaran…
Mereka pasti
akan membuat-buat perkara yang baru dalam agama, disertai kejahatan-kejahatan
dalam bermuamalah. Maka terkumpullah pada diri mereka dua perkara tersebut
(kedustaan dan kejahatan).
Sungguh,
mengikuti hawa nafsu itu akan membutakan hati, sehingga tidak lagi bisa
membedakan antara sunnah dengan bid’ah. Bahkan bisa terbalik, dia lihat yang
bid’ah sebagai sunnah dan yang sunnah sebagai bid’ah. Inilah penyakit para
ulama bila mereka lebih memilih dunia dan diperbudak oleh hawa nafsunya.”
(Al-Fawaid, hal 243-244)
اللَهُّمَ
أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلًا
وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ
“Ya Allah,
tampakkanlah kepada kami kebenaran itu sebagai kebenaran dan karuniakanlah kami
untuk mengikutinya. Dan tampakkanlah kebatilan itu sebagai kebatilan dan
karuniakanlah kami untuk menjauhinya.” Wallahu ‘alam bish-shawab.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar