Posted by : sahdarullah
Rabu, 25 September 2013
Aku
terbangun dari kotor dan dinginnya bawah jembatan ini. Begitu juga dari
suara-suara kendaraan bermotor yang silih berganti. Tapi ini sudah biasa
bagiku. Ketika kubuka mata ini, pikiran dan perutku seakan mengerti. Saatnya
kucari sesuap nasi. Menelusuri rimba rayanya kota, tertatih pada rintih kaki
dan berpeluh pada guritan derita.
Kakiku terus
melangkah, sementara perutku pun terus mendendangkan lagu keroncongnya. Kutilik
dibalik rumah mewah itu. Bahagia sekali, mereka sarapan pagi bersama dengan makanan
telah tersaji diatas meja. Sementara aku?? Berapa kilometer lagi harus
kutempuh?? “Aku tak seberuntung mereka”.
Di teriknya
matahari yang seakan ingin membakar kulitku, aku harus mengais rejeki. Di
jalanan, di perempatan, di warung-warung, tak peduli betapa teriknya siang ini.
Dengan lagu kudendangkan juga dengan tangan menengadah. Pengemis, pengamen,
mungkin itu kata yang lebih tepat. Anak jalanan, anak terlantar, apapun kata
mereka aku tak peduli. Buat aku yang terpenting adalah bagaimana menyambung
nyawaku.
Kutengok di
balik gedung itu. Nyamannya mereka, tidak kepanasan, duduk disana, mendapatkan
pendidikan, mendapatkan teman pula. Inginnya aku bersekolah. Tapi uang dari
mana? Bagaimana bisa? Kalaupun telah ada sekolah gratis, belum tentu yang lainnya
gratis. Kalaupun aku sekolah, bagaimana aku bisa mencari sesuap nasi? Sekali
lagi aku harus berkata, “Aku tak seberuntung mereka”.
Lalu ketika
senja tiba. Kutahu hari kan gelap. Gelap pula harapanku, ku tahu malam ini aku
harus tidur di emperan toko, di kolong langit, bahkan di kolong jembatan. Tanpa
peduli apa yang akan terjadi nanti. Hujankah? Hemmm… hujan? Dinginnya malam
adalah selimutku. Kardus bekas adalah kasurku. Tak ada bantal dan guling
untukku.
Guling dan
bantalku telah mati. Diambil Tuhan, bahkan disaat aku ingin merasakan hangatnya
pelukan ibu. Yang tersisa hanyalah sebuah kenangan dan dingin yang menusuk
kalbu. Sementara aku disini, anak-anak lain tidur menggunakan kasur, selimut
tebal, bahkan hangatnya pelukan orang tua. Dan untuk kesekian kalinya, aku
harus berkata “Aku tak seberuntung mereka” .
Ibu, ingin
ku mengadu. Mereka bilang aku anak terlantar, mereka bilang aku anak jalan yang
tak pantas jadi teman mereka. Mendekat saja mereka tak mau. Ibu…temanku hanya
kepahitan hidup. Isak tangis kutahan, senyum palsu kuperlihatkan. Ingin
kutunjukan ketegaran pada diriku, meskipun sebenarnya aku rapuh.
Miris…
melihat mereka menapaki kepahitan hidup. Tak ada yang peduli, bahkan
menganggapnya jijik. Fakir miskin dan anak terlantar di pelihara oleh Negara,
jelas tertera dalam UUD 1945. Namun, faktanya tidak seperti itu. Mereka
dipinggirkan oleh Negara, bahkan diliriknya saja tidak. Apa pemerintah lupa?
Ataukah hanya berpura-pura?
Anak
terlantar (anak jalanan) justru diperlihara oleh Babeh. Mereka mendapat
perlakuan buruk, disodomi, tempat pelampiasan nafsu seksnya. Kejahatan terhadap
anak-anak jalanan kerap terjadi. Dan pemerintah seakan-akan pura-pura,
alih-alih memelihara anak terlantar, pemerintah malah memelihara para koruptor.
Harapanku
untuk Indonesiaku adalah agar pemerintah benar-benar mencerna dan memahami
redaksional dari pasal 34 ayat 1 UUD 45 yang berbunyi “ Fakir miskin
dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara”. Agar mereka
mendapatkan perlindungan yang lebih baik. dan mendapatkan kehidupan yang layak
yang sebagai mana mestinya...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar