• Posted by : sahdarullah Jumat, 01 November 2013



    Awal bulan depan, genap satu tahun pernikahan kita.
    Sementara bunga kecil di perutmu sudah mulai
    mendesak-desak ingin keluar, hmm... tak terasa
    sebentar lagi bunga itu akan keluar dan menghiasi
    harum rumah kecil ini. Dik, sungguh aku sudah tidak
    sabar untuk menciuminya sepuasku hingga tak satupun
    orang lain kuberikan kesempatan mencium dan memeluknya
    sebelum aku, ayahnya, bosan menciumnya.

    Satu tahun empat bulan yang lalu, aku masih ingat saat
    datang ke rumahmu untuk berkenalan dengan keluargamu.
    Takkan pernah hilang dalam ingatanku, betapa
    kedatanganku yang ditemani beberapa sahabat untuk
    berkenalan malah berubah menjadi sebuah prosesi yang
    aku sendiri tidak siap melakukannya, yah... aku
    melamarmu dik....

    Padahal, baru satu minggu sebelum itulah kita
    berkenalan di rumah salah seorang sahabatmu. Waktu
    itu, aku tak berani menatap wajahmu meski ingin sekali
    aku beranikan diri untuk mengangkat wajahku dan segera
    menatapmu. Tapi, entah magnet apa yang membuatku terus
    tertunduk. Kenakalanku selama ini ternyata tidak
    berarti apa-apa dihadapanmu, kurasakan sebuah gunung
    besar bertengger tepat di atas kepalaku dan membuatku
    terus tertunduk.


    Dik, aku juga masih ingat dua hari setelah pernikahan
    kita, kamu masih tidak mau membuka jilbab didepanku
    meski aku sudah sah sebagai suamimu. Tidurpun, kita
    masih berpisah, kamu diatas kasur empuk yang aku
    belikan beberapa hari sebelum pernikahan, sementara
    aku harus kedinginan tidur dilantai beralaskan
    selimut.

    Hmm, aku masih sering tersenyum sendirian kala
    mengingat kata-kataku untuk merayumu agar mau membuka
    jilbab. "Abang cuma ingin tahu, istri abang nih ada
    telinganya nggak sih". Kata-kata lembutku pada malam
    ketiga itu langsung disambar dengan pelototan mata
    indahmu. "Teruslah dik, mata melotot adik takkan
    pernah membuat abang takut atau menyerah, malaaah,
    adik makin terlihat cantik, makin jelas indahnya mata
    adik".

    Setelah kata-kata itu meluncur dari mulut jahilku,
    bertubi-tubi pukulan sayang mendarat di tubuh dan
    kepalaku karena adik menganggap aku meledekmu. Tapi
    waktu itu, aku justru merasakan kehangatan pada setiap
    sentuhan tanganmu yang mengalir bak air di pegunungan.
    Karena aku yakin, dibalik pukulan-pukulan kecil itu,
    deras kurasakan cintamu seiring hujan yang turun sejak
    selepas maghrib.

    Indah bunga seroja di taman mungkin takkan pernah bisa
    mengungkapkan eloknya cinta kita, cinta yang didasari
    atas kecintaan kepada Allah. Allah-lah yang
    menciptakan hati, jiwa dan ragamu begitu rupa sehingga
    aku mencintaimu. Aku pun berharap, atas dasar cinta
    Allah pulalah adik mencintaiku. Karena hanya dengan
    cinta karena Allah, cinta ini akan terus berbunga dan
    mewangi selamanya.

    Cinta hakiki adalah cinta kepada zat yang menciptakan
    cinta itu sendiri, begitu seorang bijak berkata. Cinta
    tidak dirasa tanpa pengorbanan, kasih sayang bukan
    sekedar untaian kata-kata indah, dan kerinduan yang
    terus takkan pernah terwujud jika hanya sebatas
    pemanis bibir, tambah sang bijak.

    Langit akan selamanya cerah, bila kita suburkan cinta
    ini. Mentari takkan pernah bosan bersinar selama kasih
    antara kita tetap terpatri dan rembulan pun tetap
    tersenyum, selama kita isi hari-hari dengan segala
    keceriaan yang jujur.

    Tak terasa, malam semakin larut dik. Baru saja
    kudengar dentang jam berbunyi duabelas kali. Sementara
    tangan ini masih asik dengan pena dan secarik kertas
    putih. Kan kutulis semua rasa bathinku malam ini,
    semua keindahan, kehangatan, dan hidup dibawah naungan
    cinta bersamamu karena Allah. Tapi, maafkan aku dik,
    karena aku juga akan mengkhabarimu hal yang tidak
    pernah kuceritakan kepadamu sebelumnya.

    Kau sandarkan kepalamu di dadaku, lelap sudah malam
    menghantarmu tidur. Tapi, ah... bunga kecil kita
    ternyata belum tidur dik... sesekali kurasakan
    sentuhan kakinya dari dalam perutmu. Rupanya bunga
    kecil itu sudah mengenaliku sebagai ayahnya, kurasakan
    berkali-kali diberbagai kesempatan berdampingan
    denganmu, tangan-tangan kecilnya berupaya menggapai
    dan menyentuhku seakan memintaku untuk segera
    menggendongnya.

    Malam ini, ada tangis dihatiku yang tidak mungkin aku
    curahkan padamu. Karena aku tahu, kaupun sudah cukup
    sering menahan tangismu agar tidak terlihat olehku.
    Jadi, mana mungkin aku menambahinya dengan air mataku
    yang mulai menggenang di bibir kelopak mataku ini.

    Sebagai suami, aku merasa belum mampu membahagiakanmu
    dik. Nafkah yang kuberikan kepadamu setiap bulan,
    tidak pernah cukup bahkan untuk dua minggu pun.
    Sehingga untuk keperluan dua minggu berikutnya, aku
    harus meminjamnya dari teman-temanku tanpa
    sepengetahuanmu dan aku hanya membisikimu,
    "rizqumminallaah".

    Setahun kita menikah, tak sehelaipun pakaian kubelikan
    untukmu. Bahkan aku sering menangis, saat mengajakmu
    pergi, adik harus bingung mencari-cari sandal yang
    layak dipakai. Tak pernah aku mengajakmu untuk
    berjalan-jalan, karena aku selalu disibukkan dengan
    segala urusanku, tak peduli hari libur. Aku selalu
    berharap adik tampil cantik dan segar sepanjang hari,
    tapi tak pernah kubelikan adik alat-alat kecantikan.
    Dan yang terakhir, aku tak kuasa mengingatnya dik,
    meski berat kita harus melalui saat-saat kita makan
    dengan makanan seadanya, bahkan tidak jarang kita
    berpuasa. Waktu itu adik bilang, "Biarlah bang, adik
    lebih rela makan sedikit dan seadanya daripada kita
    harus berhutang, karena hidup tidak akan tenteram dan
    selalu merasa dikejar-kejar".

    Sebentar lagi, bunga kecil itu akan hadir dik. Akankah
    aku, ayahnya, membiarkannya tumbuh dengan apa adanya
    seperti yang aku lakukan terhadapmu dik. Bersyukurlah
    ia karena mempunyai ibu yang sholehah dan selalu
    menjaga kedekatannya dengan Allah. Karena, walau gizi
    yang diberikannya kelak tidak sebanyak kebanyakan
    anak-anak lainnya, tetapi ibunya akan mengalirkan gizi
    takwa dihatinya, mengenalkan Allah sebagai Rabb-nya,
    Muhammad sebagai tauladannya dan mengajarkan Al Qur'an
    sebagai petunjuk jalannya kelak. Ibunya akan
    mengajarkan kebenaran kepadanya sehingga mampu
    membedakan mana hak dan mana bathil.

    Dik, jika ia lahir nanti, sirami hatinya dengan
    dzikir, suburkan jiwanya dengan lantunan ayat-ayat
    suci Al Qur'an, hangatkan tubuhnya dengan keteguhan
    menjalankan dinnya, baguskan pula hatinya dengan
    mengajarkannya bagaimana mencintai Allah dan
    Rasul-Nya, ajarkan juga ia berbuat baik kepada
    orangtua dan orang lain, bimbinglah ia dengan ilmu
    yang kau punya, sehingga dengan ilmu itu ia tidak
    menjadi orang yang tertindas. Jadikan jujur sebagai
    pengharum mulutnya serta kata-kata yang benar, baik,
    lembut dan mulia sebagai penghias bibirnya. Sematkan
    kesabaran dalam setiap langkahnya, taburi pula
    benih-benih cinta di dadanya agar ia mampu mengukir
    cinta dan kasih sayang dalam setiap perilakunya, dan
    yang terakhir kenakan takwa sebagai pakaiannya setiap
    hari.

    Jika demikian, insya Allah harapan dan do'a kita untuk
    tetap bersama sampai di surga kelak akan lebih mudah
    kita gapai. Aku berharap, engkau membaca surat yang
    kuselipkan di bawah bantalmu malam ini. Dan jika kau
    telah membacanya esok pagi, jangan katakan apapun
    kecuali ciuman hangat di tanganku. Karena dengan
    begitu, aku tahu kau telah membacanya."

    buat seseorang yang sangat menerima segala
    kekuranganku

    0 komentar

  • Copyright © 2013 - Unbreakable Machine Doll - Ilmu Bermanfaat - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan