Posted by : sahdarullah
Senin, 11 November 2013
Sebagian orang menganggap bahwa tawakal
adalah sikap pasrah tanpa melakukan usaha sama sekali. Contohnya dapat kita
lihat pada sebagian pelajar yang keesokan harinya akan melaksanakan ujian. Pada
malam harinya, sebagian dari mereka tidak sibuk untuk menyiapkan diri untuk
menghadapi ujian besok namun malah sibuk dengan main game atau hal yang tidak
bermanfaat lainnya. Lalu mereka mengatakan, "Saya pasrah saja, paling
besok ada keajaiban."
Apakah semacam ini benar-benar disebut
tawakal?! Semoga pembahasan kali ini dapat menjelaskan pada pembaca sekalian
mengenai tawakal yang sebenarnya dan apa saja faedah dari tawakal tersebut.
Tawakal yang Sebenarnya
Ibnu Rajab rahimahullah dalam Jami'ul Ulum
wal Hikam tatkala menjelaskan hadits no. 49 mengatakan, "Tawakal adalah
benarnya penyandaran hati pada Allah 'azza wa jalla untuk meraih berbagai
kemaslahatan dan menghilangkan bahaya baik dalam urusan dunia maupun akhirat,
menyerahkan semua urusan kepada-Nya serta meyakini dengan sebenar-benarnya
bahwa 'tidak ada yang memberi, menghalangi, mendatangkan bahaya, dan
mendatangkan manfaat kecuali Allah semata'."
Tawakal Bukan Hanya Pasrah
Perlu diketahui bahwa tawakal bukanlah
hanya sikap bersandarnya hati kepada Allah semata, namun juga disertai dengan
melakukan usaha.
Ibnu Rajab mengatakan bahwa menjalankan
tawakal tidaklah berarti seseorang harus meninggalkan sebab atau sunnatullah
yang telah ditetapkan dan ditakdirkan. Karena Allah memerintahkan kita untuk
melakukan usaha sekaligus juga memerintahkan kita untuk bertawakal. Oleh karena
itu, usaha dengan anggota badan untuk meraih sebab termasuk ketaatan kepada
Allah, sedangkan tawakal dengan hati merupakan keimanan kepada-Nya. Sebagaimana
Allah Ta'ala telah berfirman (yang artinya), "Hai orang-orang yang
beriman, ambillah sikap waspada." (QS. An Nisa [4]: 71). Allah juga
berfirman (yang artinya), "Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan
apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk
berperang." (QS. Al Anfaal [8]: 60). Juga firman-Nya (yang artinya),
"Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi;
dan carilah karunia Allah" (QS. Al Jumu'ah [62]: 10). Dalam ayat-ayat ini
terlihat bahwa kita juga diperintahkan untuk melakukan usaha.
Sahl At Tusturi mengatakan, "Barang
siapa mencela usaha (meninggalkan sebab) maka dia telah mencela sunnatullah
(ketentuan yang Allah tetapkan -pen). Barang siapa mencela tawakal (tidak mau
bersandar pada Allah, pen) maka dia telah meninggalkan keimanan. (Lihat Jami'ul
Ulum wal Hikam)
Burung Saja Melakukan Usaha untuk Bisa
Kenyang
Dari Umar bin Al Khaththab radhiyallahu
'anhu berkata, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Seandainya kalian betul-betul bertawakal pada Allah, sungguh Allah akan
memberikan kalian rezeki sebagaimana burung mendapatkan rezeki. Burung tersebut
pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan
kenyang." (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Al Hakim. Dikatakan shahih oleh Syaikh
Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no. 310)
Imam Ahmad pernah ditanyakan mengenai
seorang yang kerjaannya hanya duduk di rumah atau di masjid. Pria itu
mengatakan, "Aku tidak mengerjakan apa-apa sehingga rezekiku datang
kepadaku." Lalu Imam Ahmad mengatakan, "Orang ini tidak tahu ilmu
(bodoh). Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda, "Allah
menjadikan rezekiku di bawah bayangan tombakku." Dan beliau shallallahu
'alaihi wa sallam juga bersabda (sebagaimana hadits Umar di atas). Disebutkan
dalam hadits ini bahwa burung tersebut pergi pada waktu pagi dan kembali pada
waktu sore dalam rangka mencari rizki. (Lihat Umdatul Qori Syarh Shohih Al
Bukhari, 23/68-69, Maktabah Syamilah)
Al Munawi juga mengatakan, "Burung itu
pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali ketika sore dalam keadaan
kenyang. Namun, usaha (sebab) itu bukanlah yang memberi rezeki, yang memberi
rezeki adalah Allah ta'ala. Hal ini menunjukkan bahwa tawakal tidak harus
meninggalkan sebab, akan tetapi dengan melakukan berbagai sebab yang akan
membawa pada hasil yang diinginkan. Karena burung saja mendapatkan rezeki
dengan usaha sehingga hal ini menuntunkan pada kita untuk mencari rezeki.
(Lihat Tuhfatul Ahwadzi bisyarhi Jaami' At Tirmidzi, 7/7-8, Maktabah Syamilah)
Tawakal yang Termasuk Syirik
Setelah kita mengetahui pentingnya
melakukan usaha, hendaknya setiap hamba tidak bergantung pada sebab yang telah
dilakukan. Karena yang dapat mendatangkan rezeki, mendatangkan manfaat dan
menolak bahaya bukanlah sebab tersebut tetapi Allah ta'ala semata.
Imam Ahmad mengatakan bahwa tawakal adalah
amalan hati yaitu ibadah hati semata (Madarijus Salikin, Ibnul Qayyim, 2/96).
Sedangkan setiap ibadah wajib ditujukan kepada Allah semata. Barang siapa yang
menujukan satu ibadah saja kepada selain Allah maka berarti dia telah terjatuh
dalam kesyirikan. Begitu juga apabila seseorang bertawakal dengan menyandarkan
hati kepada selain Allah -yaitu sebab yang dilakukan-, maka hal ini juga
termasuk kesyirikan.
Tawakal semacam ini bisa termasuk syirik
akbar (syirik yang dapat mengeluarkan seseorang dari Islam), apabila dia
bertawakal (bersandar) pada makhluk pada suatu perkara yang tidak mampu untuk
melakukannya kecuali Allah ta'ala. Seperti bersandar pada makhluk agar
dosa-dosanya diampuni, atau untuk memperoleh kebaikan di akhirat, atau untuk
segera memperoleh anak sebagaimana yang dilakukan oleh para penyembah kubur dan
wali. Mereka menyandarkan hal semacam ini dengan hati mereka, padahal tidak ada
satu makhluk pun yang mampu mengabulkan hajat mereka kecuali Allah ta'ala. Apa
yang mereka lakukan termasuk tawakal kepada selain Allah dalam hal yang tidak
ada seorang makhluk pun memenuhinya. Perbuatan semacam ini termasuk syirik
akbar. Na'udzu billah min dzalik.
Sedangkan apabila seseorang bersandar pada
sebab yang sudah ditakdirkan (ditentukan) oleh Allah, namun dia menganggap
bahwa sebab itu bukan hanya sekedar sebab (lebih dari sebab semata), seperti
seseorang yang sangat bergantung pada majikannya dalam keberlangsungan hidupnya
atau masalah rezekinya, semacam ini termasuk syirik ashgor (syirik kecil)
karena kuatnya rasa ketergantungan pada sebab tersebut.
Tetapi apabila dia bersandar pada sebab dan
dia meyakini bahwa itu hanyalah sebab semata sedangkan Allah-lah yang
menakdirkan dan menentukan hasilnya, hal ini tidaklah mengapa. (Lihat At
Tamhiid lisyarhi Kitabit Tauhid, 375-376; Syarh Tsalatsatil Ushul, 38; Al
Qoulul Mufid, 2/29)
Penutup
Ingatlah bahwa tawakal bukan hanya untuk
meraih kepentingan dunia saja. Tawakal bukan hanya untuk meraih manfaat duniawi
atau menolak bahaya dalam urusan dunia. Namun hendaknya seseorang juga
bertawakal dalam urusan akhiratnya, untuk meraih apa yang Allah ridhai dan
cintai. Maka hendaknya seseorang juga bertawakal agar bagaimana bisa teguh
dalam keimanan, dalam dakwah, dan jihad fii sabilillah. Ibnul Qayyim dalam Al
Fawa'id mengatakan bahwa tawakal yang paling agung adalah tawakal untuk
mendapatkan hidayah, tetap teguh di atas tauhid dan tetap teguh dalam
mencontoh/mengikuti Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam serta berjihad melawan
ahli bathil (pejuang kebatilan). Dan beliau rahimahullah mengatakan bahwa
inilah tawakal para rasul dan pengikut rasul yang utama.
Kami tutup pembahasan kali ini dengan
menyampaikan salah satu faedah tawakal. Perhatikanlah firman Allah Ta'ala (yang
artinya), "Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan
jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka. Dan barang
siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya."
(QS. Ath Thalaaq [65]: 2-3). Al Qurtubi dalam Al Jami' Liahkamil Qur'an
mengatakan, "Barang siapa menyerahkan urusannya sepenuhnya kepada Allah,
maka Allah akan mencukupi kebutuhannya."
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah
membaca ayat ini kepada Abu Dzar. Lalu beliau shallallahu 'alaihi wa sallam
berkata kepadanya, "Seandainya semua manusia mengambil nasihat ini,
sungguh hal ini akan mencukupi mereka." Yaitu seandainya manusia
betul-betul bertakwa dan bertawakal, maka sungguh Allah akan mencukupi urusan
dunia dan agama mereka. (Jami'ul Ulum wal Hikam, penjelasan hadits no. 49).
Hanya Allah-lah yang mencukupi segala urusan kami, tidak ada ilah yang berhak
disembah dengan hak kecuali Dia. Kepada Allah-lah kami bertawakal dan Dia-lah
Rabb 'Arsy yang agung.
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Muroja'ah: Ustadz Aris Munandar
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar